UBUD, Sains Indonesia – Sumbangan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) untuk bauran energi nasional hingga kini baru 9,1%. Sementara, Undang-Undang No.30/2007 tentang Energi dengan jelas mengamanatkan bahwa pada 2025 sekitar 23% bauran energi nasional harus datang dari sumber EBT. Padahal Indonesia memiliki begitu banyak potensi sumber daya energi baru-terbarukan (EBT). Namun, hingga saat ini pemerintah belum serius membangun dan memanfaatkan EBT. Pengelolaan energi masih saja fokus pada sumber daya fosil.
Hal itu diungkapkan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Indroyono Soesilo saat memberikan pembekalan pada peserta Rapat Kerja Deputi IV Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi (Kemenko Marves) Bidang Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan di Ubud, Jumat (6/11/2020).
Menurut Indroyono, Indonesia harus mencari terobosan baru dalam pengembangan EBT. Ia menyodorkan pemanfaatan sumber daya kehutanan melalui Hutan Tanaman Energi (HTE) sebagai sumber energi.
“Inovasi dan teknologi yang kami kembangkan mampu menyulap energi biomasa dari HTE menjadi pellet kayu, serpih kayu maupun serbuk gergajian menjadi bahan bakar substitusi batu bara untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU),” beber Indroyono.
Lebih lanjut Ia mengatakan, saat ini sedikitnya 34 perusahaan Anggota APHI sudah berminat berinvestasi untuk penerapan energi biomasa melalui Program Hutan Tanaman Energi di lahan seluas 1,1 juta ha, 10 perusahaan di antaranya sudah memasukkannya ke dalam Rencana Kerja Usaha mereka. HTE merupakan masa depan energi biomassa Indonesia, karena menjadi sumber bahan baku energi biomasa secara berkelanjutan bagi pembangkit tenaga listrik, memasok kelebihan energi listrik ke PLN dan diekspor.
Salah satu anggota APHI, Perum Perhutani, saat ini tengah melakukan uji coba program co-firing, yaitu menggabungkan pasokan batubara dan sumber daya biomasa, untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Paiton, Jawa Timur, di PLTU Cikarang Listrindo dan PLTU Palabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat.
APHI juga sedang menyiapkan perluasan pemanfataan co-firing di Indonesia timur untuk secara bertahap mengganti penggunaan minyak solar pada pembangkit listrik tenaga diesel. Dengan mengganti minyak solar dengan energi biomasa maka Indonesia bisa menghemat devisa dari impor solar yang setiap tahun nilainya meningkat.
Pengembangan HTE merupakan jalan paling mungkin dan paling murah menuju ke energi bersih dan ramah lingkungan. Energi biomasa menjadi salah satu pilihan utama di berbagai negara maju seperti Jepang dan Korea yang menargetkan mengganti PLTU Batu Bara menjadi PLTU Energi Biomasa pada 2030 nanti.
“Permintaan bahan baku pellet kayu, serpih kayu serta briket arang dari Indonesia terus meningkat, walaupun nilai ekspor energi biomasa Indonesia ke luar negeri baru mencapai US$50 juta, namun trennya terus naik,” ujarnya.
Keunggulan positif penggunaan EBT di antaranya lebih sustainable dibandingkan dengan energi fosil, industri-industri kehutanan terdorong untuk melakukan transformasi menjadi integrated industries, sehingga bisnis hutan bisa segera pulih dan bangkit kembali.
“Dengan penggunaan energi biomasa yang bahan bakunya 100% ada di Indonesia dan upaya menanam, memelihara dan memanen HTE merupakan program berkelanjutan, maka diharapkan Indonesia akan menjadi pusat energi biomasa dunia, dapat menarik investasi serta membuka lapangan kerja yang luas sesuai amanat UU Cipta Kerja,” tutur Indroyono.
Setia Lesmana