Timbunan limbah akibat penanganan dan penanggulangan Covid-19 bisa berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat. Insinerator skala kecil untuk memusnahkan limbah medis yang ditawarkan peneliti LIPI bisa menjadi salah satu solusi.
Pengelolaan limbah medis bekas penanganan Covid-19 perlu mendapatkan perhatian serius karena statusnya sebagai limbah bahan beracun berbahaya (B3). Limbah-limbah infeksius dari penyakit itu harus ditangani seawal mungkin agar tidak menjadi sumber penularan. Sesuai anjuran Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), limbah infeksius hanya bisa disimpan dalam kemasan tertutup paling lama dua hari sejak dihasilkan.
Selain itu, fasilitas layanan kesehatan diharuskan mengangkut atau memusnahkan limbah Covid-19 pada pengolahan limbah B3. Pemusnahan itu dilakukan menggunakan insinerator bersuhu minimal 800 derajat celsius atau autoclave dilengkapi dengan pencacah (shredder). Residu hasil pembakaran atau cacahan hasil autoclave dikemas dan dilekati simbol ”beracun” dan label limbah B3. Limbah B3 ini lalu diberikan kepada pengelola limbah B3.
Masalahnya, tidak semua fasilitas layanan kesehatan (Fasyankes) itu memiliki fasilitas pengolahan limbah B3 yang mumpuni. Kapasitas pengelolaan limbah medis di Fasyankes masih rendah. Jumlah pengolah limbah medis yang masuk kategori B3 juga masih minim dan tidak merata di semua daerah. Mayoritas berada di Jawa. Hingga 2018, hanya ada 6 pengolah limbah medis berizin di Indonesia dengan kapasitas produksi 120,48 ton/hari.
Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2017 tentang pengelolaan limbah medis di Asia Tenggara mencatat, timbunan limbah medis di Indonesia mencapai 0,68 kg per pasien/hari. Sementara data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyebut, timbulan limbah medis saat pandemi mengalami peningkatan. Dari 536 Fasyankes yang mengirimkan data limbah Covid-19 ke Kememkes, rata-rata timbunan limbahnya sebesar 1,7 kg per pasien/hari.
Inisiator Skala Kecil
Mencoba menawarkan solusi permasalah tersebut, sejumlah Peneliti Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), kemudian menginisiasi pengembangan mesin penghancur limbah medis atau insinerator sampah infeksius Covid-19 skala kecil untuk pabrik dan perkantoran. Insinerator skala kecil LIPI ini menjadi satu dari penelitian pasca-perawatan Covid-19 yang memang masih minim di Indonesia.
”Banyak penelitian ke arah penanganan virus Covid-19, sedangkan penelitian terkait pasca-perawatannya itu tidak ada,” ujar Peneliti Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronik LIPI, Arifin Nur, pertengahan Desember 2020. ”Penggunaan insinerator skala kecil ini sama dengan insinerator lainnya. Kami membuat semudah mungkin agar operatornya tidak sulit dilatih,” lanjutnya.
Insinerator sekala kecil ini memiliki diameter luar 60cm, tinggi 2,14m, dengan kapasitas pembakaran 100 liter, serta rata-rata pembakaran 70 liter/jam. Untuk pengoperasiannya menggunakan bahan bakar gas elpiji berbagai ukuran tabung yang banyak beredar di pasaran. Berbeda dengan insinerator pada umumnya yang menggunakan solar, penggunaan gas dinilai lebih bersih dan cepat mencapai suhu optimal. ”Tapi gas itu lebih boros,” tutur Arifin.
Insinerator skala kecil besutan LIPI diklaim dapat memusnahkan semua jenis limbah medis. Insinerator ini bertemperatur 300-900 derajat celsius karena mengoptimalkan penggunaan sensor dalam mesin. Pembakaran dalam insinerator tergantung dari temperatur kerja setiap mesin. Meski pembuatan insinerator ini ditujukan bagi penanganan limbah Covid-19 di pabrik dan perkantoran, rumah sakit kecil dan puskesmas juga dapat menggunakannya.
Meningkatkan Kapasitas
Kehadiran Insinerator skala kecil besutan LIPI bisa menjadi salah satu pendorong pengelolaan limbah medis, terutama dari penanganan Covid-19, yang lebih terorganisir. Kepala Seksi Pengamanan Limbah, Direktorat Kesehatan Lingkungan, Kemenkes, Lora Agustina mengakui, pengelolaan limbah medis di Indonesia hingga kini belum tertangani dengan baik. Saat pandemi, jumlah limbah medis semakin bertambah sehingga terjadi kesenjangan antara jumlah timbunan limbah dan kapasitas atau kemampuan untuk mengolah.
“Pengelolaan limbah medis penanganan Covid-19 harus memenuhi prinsip pencegahan dan kedekatan. Prinsip pencegahan untuk menjaga kesehatan dan keselamatan. Sedangkan prinsip kedekatan harus mempertimbangkan jarak antara penghasil dan pengolah limbah untuk meminimalkan risiko pada pengangkutan,” tutur Lora.
Dalam menangani limbah semasa pandemi, Indonesia mendapat dukungan teknis dari WHO untuk meningkatkan kapasitas petugas pengolahan limbah. WHO dan Program Pembangunan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) memberi dukungan penyediaan pengolah limbah medis. Bantuan berupa autoclave dari WHO dan PBB diberikan kepada 4 rumah sakit umum pusat (RSUP), yakni RSUP Dr M Djamil (Padang), RSUP Dr Sardjito (Yogyakarta), RSUP dr Soeradji Tirtonegoro (Klaten), dan RSUP Sanglah (Denpasar). Selain itu, 4 insinerator juga diberikan kepada empat Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (BBTKLPP) di Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan Banjarbaru.
Faris Sabilar Rusydi