Konflik Indonesia dengan China di Perairan Natuna kembali memanas akhir-akhir ini. China bersikukuh Natuna termasuk dalam sembilan garis putus-putus miliknya. Di sisi lain, Pemerintah Indonesia menegaskan tidak akan pernah mengakui klaim tersebut.
Konflik ini dipicu masuknya kapal berbendera China ke Perairan Natuna tanpa izin. Namun Pemerintah China bersikukuh negaranya tidak melanggar hukum internasional yang ditetapkan Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS). Mereka berkilah Perairan Natuna termasuk dalam Nine-Dash Line China. Di sisi lain, Pemerintah Indonesia menegaskan tidak akan pernah mengakui Nine-Dash Line atau sembilan garis putus-putus yang diklaim oleh China.
Konflik Indonesia-China di Laut Natuna sejatinya telah berlangsung lama. Sejak 2010 setidaknya tercatat pernah terjadi tujuh sengketa di kawasan ini. Pada 2012, 6 kapal ikan asing (KIA) asal Thailand dan satu KIA Vietnam ditangkap oleh Kapal Pengawas milik Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di Selat Malaka dan Laut Natuna karena terindikasi melakukan penangkapan ikan ilegal di ZEE (Zona Ekonomi Ekslusif) Indonesia.
Pada Agustus 2012, Menteri Luar Negeri (Menlu) saat itu, Marty Natalegawa, dan Menlu Cina Yang Jiechi sepakat mengedepankan diplomasi dalam menyelesaikan sengketa laut China Selatan usai menandatangani kerjasama bilateral di Jakarta, 10 Agustus 2012. Dalam pernyataan persnya, Yang Jiechi mengatakan, memelihara perdamaian dan stabilitas di Laut China Selatan adalah tanggung jawab bersama semua negara di kawasan tersebut.
Namun, dua tahun setelah kesepakatan bilateral tersebut, China malah mengklaim perairan Natuna sebagai wilayah laut mereka sesuai dengan batasan wilayah laut Nine Dash Line. Indonesia lantas menegaskan penolakan terhadap Nine Dash Line China karena dinilai sebagai klaim sepihak (unilateral). Klaim historis China atas ZEE Indonesia dengan alasan bahwa para nelayan China telah lama melakukan aktivitas di perairan tersebut tidak memiliki dasar hukum dan tidak pernah diakui dalam UNCLOS 1982.
Indonesia sendiri telah meratifikasi UNCLOS 1982 ini melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985. UNCLOS 1982 adalah hasil dari berbagai konferensi PBB mengenai hukum laut sejak 1973 sampai 1982. Hingga kini, sebanyak 158 negara telah bergabung dengan Konvensi tersebut. China sendiri juga telah meratifikasi UNCLOS 1982 pada tahun 1996. Oleh karena itu menjadi kewajiban bagi China untuk menghormati implementasi UNCLOS 1982 ini.
“Di Natuna, saya bertanya ke Panglima TNI, apakah ada kapal negara asing memasuki laut teritorial Indonesia? Ternyata tidak ada. Kapal asing tersebut berada di zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia, bukan laut teritorial Indonesia. Di zona tersebut kapal internasional dapat melintas dengan bebas, tapi Indonesia memiliki hak atas kekayaan alam di dalamnya. Indonesia memiliki hak berdaulat untuk menangkap atau menghalau kapal asing yang mencoba memanfaatkan kekayaan alam di dalamnya secara ilegal,” tulis Presiden Joko Widodo lewat akun twitternya pasca kunjungan kerja di Natuna, 8 Januari 2020.
Merespon hal ini, Menteri Koodinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, ke depannya pemerintah akan memperkuat tugas Badan Keamanan Laut (Bakamla) dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law. Rencananya petugas patroli perbatasan perairan Indonesia (coast guard) akan disatukan dalam Bakamla. Dengan memperkuat Bakamla maka akan meringankan tugas TNI Angkatan Laut. Sebab menurutnya, menghadapi kapal asing hanya perlu dihadapi oleh coast guard.
“Nantinya akan menjadi satu semuanya. Kewenangan-kewenangan coast guard ada di Bakamla. Dengan demikian, ada South Chinesse tidak proper ke teknik. Proper teknik itu coast guard, itu aturan internasional. Karena kalau terus TNI yang tampil, kok sangar banget. Itu tidak dibenarkan dalam pergaulan internasional. RUU Omnibus Law bagian keamanan laut akan segera rampung,” ungkap Luhut beberapa waktu lalu.
Menko Luhut juga menepis anggapan bahwa maraknya KIA China yang masuk Laut Natuna berkaitan dengan banyaknya investasi dari negeri Tiongkok itu ke Indonesia. Luhut menegaskan, sikap pemerintah Indonesia terhadap polemik perairan Natuna amat tegas, dimana kedaulatan Indonesia tidak bisa diganggu gugat negara manapun. “Kedaulatan adalah kedaulatan. Pemerintah tidak mungkin mentransaksikan kedaulatan negara dengan investasi dari China. China tidak pernah minta supaya trade off kedaulatan dengan investasi, tidak ada urusan dengan itu,” ujar Luhut.
–Faris Sabilar Rusydi