BOGOR, Sains Indonesia – Hasil uji klinis Eucalyptus tahap 2 pada pasien [enderita Covid-19 membawa kabar gembira bagi upaya penyembuhan pasien Covid-19, khususnya dengan gejala berat. Menurut Peneliti dari Fakultas Kedokteran Universitas Hasanudin, Arif Sanoso mengungkapkan pemberian uap Eucalyptus pada pasien selama 15 hari mampu meredakan badai sitokin (Cytokine Storm) bahkan mencegahnya jika diberikan pada tahap awal.
Selain itu, lanjut Arif, Eucalyptus mampu mencegah inflamasi (peradangan) pada jaringa sel paru-paru, meredakan hingga menyembuhkan batuk, meredakan sakit tenggorokan, dan menyebuhkan anosmic (kehilangan penciuman). Dan tak kalah pentingnya, Eucalyptus juga mampu meningkatkan nilai cycle threshold (CT) pasien hingga dua kalinya.
Arif menyampaikan hasil temuannya dalam Talkshow Satu Tahun Penelitian Eucalyptus, di Puslitbang Perkebunan, Bogor, Rabu (5/5/2021). Sejak awal 2021 ini, FK Unhas dan Balitbangtan melakukan riset bersama untuk uji klinis tahap 2 penggunaan Eucalypus pada pasien Covid-19.
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Daeng M Faqih menyambut baik hasil penelitian tersebut. Ia bahkan mendorong Arif dan tim peneliti Unhas, serta peneliti Balitbangtan untuk menyosialisasikan hasil temuan mereka di hadapan anggota IDI.
“Kedepan saya harap Eucalyptus bukan lagi sekedar terapi adjuvan (tambahan) namun menjadi terapi utama penyembuhan Covid-19. Dan Indonesia akan memberikan sumbangsih penting bagi dunia dalam upaya pengobatan Covid-19,” ujarnya.
Menurut Daeng, badai sitokin merupakan biang kerok penyebab kematian penderita Covid-19, dimana tingkat kematian akibat Covid-19 di Indonesia terbulang masih tinggi. Ia menjelaskan badai sitokin merupakan reaksi berlebih sistem kekebalan tubuh. Ketika SARS-CoV-2 memasuki tubuh, sel-sel darah putih akan merespons dengan memproduksi sitokin.
Untuk dipahami, lanjut Daeng, sitokin adalah protein yang dihasilkan sistem kekebalan tubuh untuk melakukan berbagai fungsi penting dalam penanda sinyal sel. Sitokin tersebut lalu bergerak menuju jaringan yang terinfeksi dan berikatan dengan reseptor sel tersebut untuk memicu reaks peradangan.
“Pada kasus Covid-19, sitokin bergerak menuju jaringan paru-paru untuk melindunginya dari serangan SARS-CoV-2,” jelasnya
Dikutip dari bbc.com, hal paling buruk pada orang yang terpapar Covid-19 adalah pneumonia atau infeksi paru-paru yang menyebabkan inflamasi ketika tubuh melawannya. Dalam kasus paling serius, Covid-19 menyebabkan inflamasi dan penggumpalan darah, serangan terhadap beragam organ dan membawa risiko kematian.
Saat Paru-paru mengalami peradangan, sitokin normalnya hanya berfungsi sebentar dan akan berhenti saat respons kekebalan tubuh tiba di daerah infeksi. Pada kondisi badai sitokin, sitokin terus mengirimkan sinyal sehingga sel-sel kekebalan tubuh terus berdatangan dan bereaksi di luar kendali.
Akibatnya, paru-paru pun bisa mengalami peradangan parah karena sistem kekebalan tubuh berusaha keras membunuh virus. Peradangan pada paru-paru itu sayangnya bisa terus terjadi meski infeksi sudah selesai.
Selama peradangan, sistem imun juga melepas molekul bersifat racun bagi virus dan jaringan paru-paru. Tanpa penanganan yang tepat, fungsi paru-paru pasien dapat menurun hingga membuat pasien sulit bernapas. Kondisi inilah yang kemudian bisa membuat pasien Covid-19 akhirnya meninggal dunia atau tak bisa bertahan.
Setia Lesmana