JAKARTA, Sains Indonesia – Kementerian Pertanian (Kementan) terus mengampanyekan konsep pemupukan berimbang yang mengacu pada kebutuhan hara tanah dan jenis tanamannya. Dosis unsur Nitrogen (N), Phospor (P), dan Kalium (K) diberikan sesuai kondisi tanah dan jenis tanamannya.
“Pemupukan berimbang dengan konsep tepat mutu, tepat jumlah, dan tepat jenis mampu meningkatkan produktivitas pertanian. Daya saing produk pertanian pun meningkatkan karena tercipta efisiensi biaya produksi,” ujar Kepala Sub Direktorat Pupuk Bersubsidi Kementan, Yanti Ermawati dalam Webinar “Peningkatan Produksi Pertanian dengan Pemupukan Berimbang” yang diselenggarakan Forum Wartawan Pertanian (Forwatan), Selasa (11/5/2021).
Menurut Yanti, konsep pemupukan berimbang sesuai dengan rekomendasi dari Badan Litbang Pertanian (Balitbangtan) untuk menyeimbangkan pemberian pupuk untuk mencegah laju degradasi lahan akibat pemupukan berlebih. Konsep tersebut juga bentuk inovasi kebijakan menyiasati pengurangan besaran subsidi pupuk oleh kementerian keuangan.
“Dari kebutuhan pupuk 24 juta ton, kemenkeu mengalokasikan 8,9 juta ton dengan nilai subsidi sekitar Rp25,3 Triliun,” ujarnya.
Sementara itu Kepala Balai Penelitian Tanah, Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) ) Kementan, Ladiyani Retno Widowati menguraikan, dasar pemupukan itu mengacu pada tiga hal. Yaitu berapa hara yang tersedia di tanah dan varietas tanaman apa yang ditanam dan target produksinya berapa.
Neno menyontohkan, kebutuhan hara pada tanaman padi menurut rekomendasi IRRI adalah N sebesar 17,5 kg/ton gabah, P (3 kg/ton gabah), dan K (17 kg/ton gabah). Sehingga jika target produksinya 6 ton gabah/ha, maka setiap hektare membutuhkan 233 kg urea, 50 kg SP-36, dan 170 kg KCL.
Sekarang ini kata Neno, di lahan sawah, lahan sawah intensifikasi, sudah banyak memakai mesin combine harvester, sehingga jerami yang kaya dengan kalium tidak terbuang. Sekitar 60% -70% jerami masih di sawah dan sebaiknya jerami itu dikembalikan ke tanah sebagai sumber kalium..
Selain itu, lanjut Neno, dengan frekwensi pemupukan yang sudah lama dilakukan, tanah sawah sesunggunya menyimpan unsur hara. Jadi berbekal “tabungan hara” itu maka kemudian tinggal ditambahkan kekurangannya saja.
Cegah Degradasi Lahan
Lebih lanjut Neno mengatakan, pemupukan berimbang mencegah praktik pemupukan anorganik yang berlebihan tanpa adanya penambahan pupuk organik atau pengembalian biomassa ke dalam tanah. Ini sekaligus menjawab tantangan pertanian di masa depan yang terus mengalami degradasi dan penurunan produktivitas lahan pertanian.
“Lahan pertanian kita tidak semuanya prima. Ada yang mengalami degradasi lahan secara alami, ada juga akibat pengelolaan lahan yang tidak baik sehingga produktivitasnya menurun,” kata Neno.
Ia menambahkan, tingkat kesuburan tanah ditentukan oleh jenis tanah dan bahan induknya, iklim, dan sistem pengelolaan lahan. Untuk itu pihaknya telah membuat Peta Status Hara P dan K Tanah di 23 provinsi di luar Pulau Jawa dan Jawa yang bisa dijadikan pedoman rekomendasi pemupukan P dan K untuk padi, jagung, dan kedelai yang disusun berdasarkan status hara tanah.
“Dari peta tersebut, diketahui luasan lahan sawah dengan status hara P tinggi meningkat. Luasan lahan sawah dengan status K tinggi juga meningkat. Pupuk P dan K terakumulasi di tanah karena pemupukan yang tidak seimbang selama puluhan tahun,” tuturnya.
“Pemupukan sebaiknya memenuhi formula empat tepat yaitu tepat dosis, tepat waktu, tepat cara, dan tepat jenis/bentuk,” lanjutnya.
Tepat dosis artinya sesuai dengan status hara tanah dan kebutuhan tanaman, yang ditetapkan lewat uji tanah dan target hasil. Tepat waktu pupuk diberikan saat tanaman membutuhkan.
Sedangkan tepat cara adalah penempatan pupuk di lokasi di mana tanaman secara efektif mengakses hara. Terakhir tepat jenis/bentuk yaitu formula pupuk sesuai dengan kondisi tanah dan kebutuhan tanaman.
Setia Lesmana