Gubernur Jabar periode 2008 -2018, Ahmad Heryawan memanfaatkan pagelaran wayang Golek untuk menyosialisasikan hasil-hasil pembangunan. Kanal seni dan budaya seperti halnya wayang golek terbukti efektif untuk mendiseminasikan inovasi dan teknologi pertanian, seperti sistem tanam jajar legowo.

Diseminasi multi kanal dan kolaborasi multipihak kunci keberhasilan penerapan Jarwo di Jabar

“Naon ari Jarwo teh (apa itu Jarwo)”, tanya si Cepot kepada Nandang Sunandar, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat pada pertengahan 2013 silam. “Jarwo itu jajar legowo Pot, yaitu sistem tanam padi hasil inovasi para peneliti Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian,” jawab Nandang.

Dialog pun mengalir diselingi gelak tawa ratusan penonton yang memadati halaman kantor bupati Kuningan, Jawa Barat. Penonton pun  tak surut menikmati pagelaran wayang golek yang dibawakan dalang kondang, Asep Sunandar Sunarya, meski malam kian larut.

Peristiwa itu dikisahkan peneliti senior BPTP Jabar, Nana Sutrisna kepada penulis akhir Mei 2021 lalu. Kanal seni budaya, seperti halnya pertujukan wayang golek, menjadi sarana efektif mengenalkan inovasi teknologi hasil Litbang, khususnya sistem tanam Jarwo. Dengan bahasa yang renyah dan mudah difahami, masyarakat pun diajak menyelami keunggulan inovasi teknologi dalam meningkatkan produktivitas padi.

“Diperlukan kreativitas tersendiri untuk menyosialisasikan inovasi teknologi kepada petani. Terlebih untuk mengubah tradisi dan kebiasaan petani yang sudah dilakukan bertahun-tahun,” ujar Nana.

Lebih jauh Nana menuturkan, kolaborasi dengan semua stake holder pertanian menjadi kunci keberhasilan adopsi sistem Jarwo di Jawa Barat. Ia pun bercerita tentang pasang surut produksi padi di tanah Pasundan.

Hingga 2009, provinsi di bagian Barat Pulau Jawa itu masih menyumbang 17,6% terhadap produksi padi nasional. Saat itu masih cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi beras warga Jabar yang mencapai 42,2 juta jiwa, bahkan surplus sekitar 1 juta ton beras. Namun laju alih fungsi lahan akibat derasnya pembangunan infrastruktur dan properti makin mengkhawatirkan.

Menurut Iskandar Ishaq, yang juga menggawangi BPTP Jabar sedari awal, pada tahun 2009 produksi padi di Jabar mencapai 11,283 ton gabah kering giling (GKG) atau setara 7,131 ton beras, sedangkan produksi nasional saat itu sebesar 64,40 juta ton GKG.

“Ketersediaan lahan yang terus berkurang akibat alih fungsi, serta tantangan perubahan iklim tidak bisa diabaikan dan harus segera disikapi dengan program yang efektif,” ujarnya.

Mudah dan Murah

Tantangan lainnya, usaha tani di Jabar didominasi oleh usaha skala kecil yang seringkali dihadapkan pada masalah klasik seperti keterbatasan akses pasar, permodalan, serta informasi dan teknologi. Karena itu, kata Nana, pilihan inovasi pun haruslah teknologi yang mudah dan murah agar bisa diterapkan mayoritas petani.

Tahun 2009, lanjut Nana, melalui program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) dan juga Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT), BPTP Jabar mengembangkan demonstration plot pengelolaan tanaman terpadu (Demplot PTT). Terdapat 10 komponen teknologi, baik utama maupun penunjang, yang digelar di setiap demplot.

“Hasil kajian kami, ada tiga komponen teknologi yang paling berpengaruh yaitu varietas unggul baru (VUB), sistem pemupukan, dan sistem tanam Jarwo,” beber penemu inovasi Patbo Super itu, sebuah paket teknologi budidaya padi hasil tinggi di lahan tadah hujan.

Selanjutnya dari ketiga komponen tersebut, Jarwo menjadi program unggulan karena secara teknologi murah dan mudah dimasalkan. Sistem tanam ini dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas sebesar 20-30%, serta mengurangi penggunaan pupuk anorganik hingga 30 persen.

“Jarwo bisa meningkatkan produktivitas karena ada ruang untuk penyinaran tanaman oleh cahaya matahari sehingga proses fotosinstesi lebih optimal,” jelasnya.

Sementara itu, komponen VUB saat itu terkendala sulitnya penyediaan benih secara massal karena belum siapnya penangkar. Sedangkan teknologi pemupukan sudah biasa dilakukan petani.

Berbekal hasil kajian tersebut,  BPTP Jabar pun langung tancap gas. Bimbingan Teknis dan pelatihan, program percontohan, hingga pendekatan terhadap pejabat mulai dari Gubernur, Bupati, hingga jajaran teknis pun terus digelar, terutama sejak tahun 2011. Sistem diseminasi multi kanal benar-benar dilakukan agar hasilnya optimal.

“Untuk meyakinkan Gubernur dan Wakil Gubernur Jabar, kami pun mengundang keduanya bermalam di rumah petani di kuningan. Saat itu kebetulan yang bisa hadir Pak Dede Yusuf,” kenang Nana.

70% Gunakan Jarwo

Tahun 2012 diadakan Jambore Penyuluh Pertanian se-Jawa Barat. Dihadapan 600 penyuluh saat itu, Gubernur Jabar Ahmad Heryawan mencanangkan penggunaan Jarwo pada 70% lahan sawah di Jabar mulai tahun 2013. Kebijakan tersebut membuat adopsi Jarwo berjalan masif dan sukses mendongkrak produksi padi di Jabar.

BPTP juga mengajak perusahaan swasta ikut menerapkan sistem Jarwo pada demplot-demplot yang mereka buat dengan menggunakan baik benih, pupuk, maupun teknologi lainnya yang mereka miliki. Menurut Iskandar, kolaborasi tersebut sangat efektif karena swasta pun ikut aktif mengenalkan teknologi Jarwo pada masyarakat.

Kolaborasi juga dilakukan dengan media massa baik cetak maupun elektronik. Setiap pekan, para peneliti BPTP menjadi narasumber talkshow di RRI Bandung menjelaskan sistem Jarwo dan inovasi Litbang lainnya.

Pendekatan budaya juga dilakukan merancang batik motif jajar legowo yang digunakan oleh para petugas dan penyuluh di Jabar. Bimtek Jarwo bukan hanya diikuti penyuluh, namun juga petugas dari dinas pertanian kota dan kabupaten se-Jabar karena pengaruhnya yang besar pada petani.

Tak ketinggalan, BPTP Jabar juga membentuk rombongan penanam padi maupun memanfaatkan yang sudah ada, terutama yang sudah menjadi tradisi di kawasan Pantura Jabar. Mereka adalah sekelompok pemberi jasa tanam yang disewa pemilik lahan untuk menanam padi

“Kami berikan insentif kepada rombongan tanam ini, dari biasanya mereka menerima upah Rp1 juta per ha menjadi menjadi Rp1,25 juta per ha. Ini terbukti sangat efektif,” kata Nana.

Setia Lesmana

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini