Peran sebagai jembatan penghubung antar stakeholder memberikan banyak manfaat dan posisi strategis bagi BPTP di Jabar.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jabar diresmikan sejak tahun 2006 silam, setelah sebelumnya berlabel BPTP Lembang sejak dibentuk tahun 1994 silam dan beroperasi setahun kemudian. Tahun-tahun awal keberadaannya, tak banyak orang yang mengenal BPTP Jabar.
“Bahkan, banyak yang salah melafalkan BPTP maupun kepanjangannya. Saya senang bukan main kalau ada yang bisa melafalkannya dengan benar,” kenang peneliti senior BPTP Jabar, Iskandar Ishaq saat diwawancarai Sains Indonesia, baru-baru ini.
Perlahan namun pasti eksistensi dan kiprah pun diakui. Bahkan para peneliti BPTP menjadikan rujukan untuk mencari solusi terhadap persoalan-persoalan pertanian di Jabar. Komunikasi, kolaborasi, dan masukan-masukan yang disampaikan BPTP Jabar, menurut Iskandar, menjadi kunci penting penguatan peran dan kiprah BPTP dalam pembangunan pertanian di daerah.
“Kolaborasi menjadikan peran penting kami dikenal luas baik oleh masyarakat pelaku usaha tani maupun pemangku kepentingan,” tuturnya.
Lebih jauh, peneliti yang banyak menelisik sumber daya genetika asli Jabar dan segala potensi dan keunggulannya, mengungkapkan bahwa saat ini mulai terjadi pergeseran peran BPTP ke arah yang lebih strategis. Pada dua dekade awal, BPTP lebih banyak disibukkan oleh tugas-tugas top down, mendiseminasikan dan melaksanakan program pemerintah pusat.
Jembatan Penghubung
Saat ini BPTP mampu berperan banyak sebagai penyeimbang antara kepentingan pemerintah pusat dengan aspirasi dari daerah. Fungsi BPTP sebagai jembatan penghubung antara lembaga penelitian sebagai penghasil teknologi, dengan petani dan pemangku kepentingan sebagai pengguna teknologijauh lebih terasa.
“Dari jalinan kerjasama baik pada tataran konsep maupun praktik antara BPTP dengan pemerintah daerah, kami peroleh banyak manfaat. Baik sumber daya genetik atau varietas unggul lokal bahkan alokasi pendanaan program oleh anggaran daerah,” tutur Iskandar.
Bagi Nana Sutrisna, peneliti senior lainnya di BPTP Jabar, justru cara pandang pemangku kebijakan di pusat yang semestinya berubah. Para peneliti di BPTP selalu diposisikan sebagai pelaksana program pemerintah pusat maupun hasil inovasi dari balai-balai penelitian (Balit).
“Padahal hasil kajian dan riset kami tak kalah berkualitas dibandingkan dengan kolega kami di Balit. Bahkan yang kami hasilkan sudah teruji di lapangan bahkan menjadi solusi dan rujukan bagi pelaku usaha tani,” tegasnya.
Kolaborasi dengan stake holder lain, menurut Iskandar, juga sangat menguntungkan. Para penangkar benih misalnya, mereka menjadi mitra paling penting, baik dalam hal adopsi varietas baru inovasi Balitbangtan maupun penguatan sistem logistik benih.
Setiap enam bulan, biasanya kami bertemu dan bertukar pikiran dengan para penangkar. Saat mereka pulang, kami bekali mereka benih sumber VUB Balitbangtan untuk mereka ujicoba di lapangan bersama para petani.
“Pada pertemuan berikutnya, mereka datang dengan evaluasi hasil ujicoba yang mereka lalukan termasuk VUB mana yang lebih disukai petani. Ini sebuah masukan yang sangat berharga bagi Balitbangtan,” bebernya.
Uniknya, lanjut Iskandar, petani lebih menyukai benih pokok atau sumber (berlabel ungu) ketimbang benih sebar atau ES (berlabel biru) karena diyakini hasilnya lebih tinggi. Di mata petani, benih ES identik dengan bantuan pemerintah yang selama ini banyak mengecewakan di lapangan.
“Petani bahkan lebih rela membayar lebih mahal untuk benih sumber karena hasilnya memuaskan,” pungkasnya.
Setia Lesmana