Sekali dayung 2-3 pulau terlampaui. Ungkapan tersebut tepat menggambarkan potensi pajak karbon jika jadi diterapkan. Potensi penerimaan negara dari perdagangan dan pajak karbon mencapai ratusan triliun rupiah, selain bisa menambal defisit anggaran penerimaan negara, sekaligus mengurangi emisi.
Perdagangan karbon merupakan kompensasi yang diberikan negara-negara industri maju (penghasil karbon) untuk membayar kerusakan lingkungan akibat emisi karbondioksida (CO2) kepada negara pemilik hutan (penyerap karbon). Mekanisme carbon trading bertujuan mengurangi emisi gas rumah kaca.
Memiliki hutan lindung yang tersebar dari Sabang hingga Merauke, Indonesia aktif menjual emisi karbon. Emisi karbon yang bisa diperdagangkan adalah karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitrat oksida (N2O), hidrofluorokarbon (HFCs), perfluorokarbon (PFCs), dan sulfur heksafluorida (SF6). Keenam emisi ini menjadi pemicu utama pemanasan global di Bumi dan perubahan iklim.
Satu unit kredit karbon biasanya setara dengan penurunan emisi 1 ton karbon dioksida. Saat ini, harga sertifikat emisi karbon sekitar 28 dolar per ton, naik 10 dolar dari tahun sebelumnya karena munculnya peraturan-peraturan terkait perdagangan karbon.
“Indonesia memiliki lahan gambut seluas 7,5 juta hektare, mangrove 3,1 juta hektare, dan hutan seluas 180 juta hektare yang berkontribusi terhadap penyerapan gas karbon dunia,” kata Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan beberapa waktu lalu.
Artikel selengkapnya dapat Anda baca di Majalah Sains Indonesia edisi Juli 2021