Tempe dan Produk Olahannya Bisa Atasi Stunting
BOGOR, Sains Indonesia – Tempe, khususnya tempe berbahan baku kedelai lokal, bisa menjadi alat untuk mengatasi stunting di Indonesia. Kandungan protein yang tinggi dengan kandungan zat besi tinggi di di dalam kedelai lokal, menjadi keunggulan tersendiri.
Duta Peduli Stunting Kota Bogor, Yantie Rachim menyambut baik acara Talkshow “All About Tempeh from Local Soybeans, The Indonesian Superfood“ yang diselenggarakan Balai Besar Penelitian Pascapanen (BB Pascapanen) Badan Litbang Pertanian di Bogor, Rabu (15/12/2021).
Konsumen Menengah-Atas
Berbekal keunggulan kandungan gizi dan citasa, kedelai lokal berhasil mendapat tempat tersendiri di kalangan konsumen, khususnya konsumen menengah dan menengah atas.
Hal itu disampaikan sejumlah pengrajin tempe dan produk olahannya dari Bogor dan Sukabumi. Yayat priyati, pengrajin olahan tempe dari Sukabumi membeberkan, berbagai produk olahan tempe seperti nugget, katsu, cireng, abon, hingga bakso yang Ia produksi banyak disukai konsumen.
Yayat menggunakan kedelai dega, hasil inovasi Balitbangtan. Ia mengatakan, kedelai lokal memiliki rasa lebih gurih, teksturnya padat, dan mudah diolah.
“Dari satu kilogram kedelai, jika diolah bisa menjadi dua kilogram nugget atau produk lainnya,” kata Yati.
Pengrajin tempe dari Parung, Widodo menyebutkan, usaha tempe dan olahannya berbahan baku kedelai lokal sangat menjanjikan. Ia yang saat ini mengolah 10 kg kedelai Dega mampu memperoleh keuntungan sekitar 50% dari omset.
Ia mengaku, omsetnya saat ini mencapai Rp400 ribu per hari. Widodo memilih varietas Dega karena ukurannya besar dan kandungan gizi atau proteinnya tinggi.
“Saya ingin menambah kapasitas produksi, namun terkendala tenaga kerja yang memenuhi standar. Saya berharap BB Pascapanen bisa menyelenggarakan bimbingan teknis (bimtek) produk olahan tempe,” kata produsen tempe bermerek Sehati itu.
Ia mengaku banyak permintaan produk tempenya, hingga lima kali dari kapasitas produksinya saat ini. Sayangnya Ia belum bisa memenuhi permintaan karena kekurangan tenaga kerja.
“Kami menjaga kualitas agar konsumen tidak kecewa,” Ujarnya.
Kendala Pemasaran
Berbeda dengan Yayat dan Widodo, Ida yang memproduksi tempe Echo Raos, memilih kedelai Grobogan yang juga hasil inovasi Balitbangtan. Menurut Ida, selain ukurannya besar, kedelai Grobogan tidak terlalu kenyal saat dipotong atau diolah.
Hanya saja, dari pemasaran, tempe dari kedelai lokal masih terbatas pada kalangan tertentu. Harga jual yang lebih mahal menjadi kendala tersendiri.
“Diperlukan edukasi terhadap konsumen terkait keunggulan tempe dari kedelai lokal,” ujarnya.
Setia Lesmana