Tiga pilar utama yang menjadi acuan penerapan pertanian cerdas iklim inovatif meliputi adaptasi, mitigasi, dan produktivitas.
Semburat air keluar dari setiap lubang kecil di sepanjang pipa yang membujur di tengah lahan pertanian petani di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Air menyebar merata menyirami tanaman layaknya kabut yang menguar di udara membasahi sekujur lahan berpasir, lahan marjinal yang selama ini terkendala pengairannya.
Irigasi kabut, begitu anggota kelompok Tani Manunggal menyebutnya, merupakan terobosan untuk mengatasi minimnya ketersediaan air di sejumlah lokasi di Bantul. Sistem irigasi kabut terbukti efektif dan efisien dalam menyirami tanaman dan menciptakan kelembaban tanah yang tepat sesuai kebutuhan tanaman.
Apa yang dilakukan petani di Bantul tersebut adalah praktik nyata pertanian cerdas iklim inovatif (PCII) untuk mengurangi ketergantungan air. PCII juga bertujuan mengakhiri ketergantungan terhadap pupuk dan pestisida karena kini input produksi yang digunakan jauh lebih sedikit dibanding sebelumnya.
Ahli peneliti utama Badan Litbang Pertanian, Fadjry Djufry dalam orasi ilmiahnya sebagai profesor riset menyebutkan, PCII bisa berjalan dengan baik jika didukung oleh ketersediaan data, teknologi GPS, dan sensor kelembaban. Kemajuan teknologi, khususnya budidaya adaptif dan inovatif, juga digunakan untuk memecahkan persoalan pemilihan jenis tanaman dan akses pasar. Artikel selengkapnya dapat anda baca di Majalah Sains Indonesia edisi Februari 2022