Menggunakan energi hijau menjadi jalan untuk mereduksi dampak krisis iklim di masa depan. Jalan terjal ini sebaiknya segera dilakukan. Karena jika terlambat, perubahan iklim tak hanya akan menyebabkan krisis lingkungan, namun juga krisis ekonomi dan kemanusiaan.
Desakan mempercepat transisi energi nasional dari energi fosil ke energi hijau atau ramah lingkungan semakin kuat dengan meningkatnya fenomena bencana akibat perubahan iklim ekstrem beberapa bulan belakangan ini. Sejumlah pihak mengingatkan pemerintah, bahwa kegagalan transisi energi tidak hanya akan memicu krisis lingkungan yang lebih dahsyat, tetapi juga krisis ekonomi dan kemanusiaan.
Sebagai salah satu dari sepuluh negara yang disebut sebagai penghasil terbesar karbon dunia, kontribusi dan komitmen Indonesia sangat menentukan. Presiden Joko Widodo menyatakan akan memanfaatkan presidensi G-20 untuk memperkuat solidaritas global dan menunjukkan komitmen Indonesia dalam mengatasi krisis iklim. Indonesia berkomitmen menurunkan emisi karbon 29 persen di 2030 dengan target nol karbon pada 2060.
Separuh dari sasaran 2030 itu ditargetkan dari sektor kehutanan. Sementara sisanya dari sektor energi dan transportasi. Untuk mencapainya, berbagai kebijakan disiapkan. Dari sisi fiskal, ada insentif pajak untuk sektor energi baru dan terbarukan (EBT). Dari sisi belanja, ada subsidi bagi sektor energi serta transportasi ramah lingkungan. Adapula pembiayaan untuk proyek hijau, salah satunya lewat penerbitan green bonds di pasar global. Artikel selengkapnya dapat anda baca di Majalah Sains Indonesia edisi April 2022