Sampah makanan kian mendesak ditangani. Terlebih Indonesia berkomitmen mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan pada 2030 dalam penanganan sampah makanan. Tanpa intervensi, sampah makanan menimbulkan kerugian ekonomi dan ekologi.
Sampah makanan yang dihasilkan setiap hari tidak hanya menimbulkan kerugian ekonomi, melainkan juga ekologi dengan menghasilkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Data Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Indonesia membuang sampah makanan 23-48 juta ton per tahun medio 2000-2019.
Timbunan sampah makanan atau food loss dan waste ini setara 115-184 kilogram per kapita per tahun. Di sisi lain, proses penimbunan sampah makanan dapat menghasilkan gas metana (CH4), yang sebagai GRK, 25 kali lebih berbahaya bagi bumi ketimbang karbondioksida (CO2) yang biasa dihasilkan sebagai emisi kendaraan bermotor.
Gas metana yang dihasilkan oleh 48 juta ton sampah makanan di Indonesia setara dengan emisi gas karbondioksida CO2 yang dihasilkan 21,8 juta mobil dalam setahun. Sebagai perbandingan, jumlah mobil di Jakarta tahun 2020 hanyalah sebanyak 3,3 juta unit.
Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa menyebut, pengurangan sampah makanan perlu segera dilakukan untuk mencapai target tujuan pembangunan berkelanjutan atau SDGs, yaitu mengurangi 50% sampah makanan di 2030. Artikel selengkapnya dapat anda baca di Majalah Sains Indonesia edisi Juni 2022