Standardisasi instrument pertanian menjadi faktor pengungkit bagi peningkatan produktivitas, produksi dan kualitas. Hal itu akan mendorong peningkatan daya saing, baik di pasar domestik maupun pasar ekspor.
Peraturan Presiden Nomor 117 Tahun 2022 tentang Kementerian Pertanian, menandai berakhirnya Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan). Perpres tersebut juga menandai lahirnya lembaga baru, yakni Badan Standardisasi Instrumen Pertanian (BSIP).
Seperti apa gambaran organisasi setingkat eselon satu di Kementerian Pertanian itu? Sains Indonesia mewawancara Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan), Prof Fadjry Djufry. Berikut petikan wawancaranya:
Bisa dijelaskan apa yang dimaksud dengan standardisasi instrument pertanian itu apa?
Mengacu ke UU Nomor 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian berkelanjutan, ruang lingkup instrumen pertanian dimulai dari hulu hingga ke hilir. Meliputi benih atau bibit, pupuk, pestisida, lahan atau tanah, air, alat dan mesin pertanian, pascapanen pertanian, mutu produk hasil budi daya pertanian, dan kelembagaan.
Sedangkan standardisasi dalam UU Nomor 20 tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian adalah proses merencanakan, merumuskan, menetapkan, menerapkan, memberlakukan, memelihara, dan mengawasi Standar yang dilaksanakan secara tertib dan bekerja sama dengan semua pemangku kepentingan.
Dengan demikian, standardisasi instrumen pertanian merupakan rangkaian proses yang komprehensif untuk menyediakan standar untuk instrumen pertanian yang kemudian diatur dengan kewenangan BSN (Badan Standardisasi Nasional) menjadi Standar Nasional Indonesia (SNI). Proses ini bertujuan untuk memberikan dukungan peningkatan produktivitas, daya guna produksi, mutu barang, jasa, proses, sistem dan atau personel sektor pertanian.
Pada akhirnya, penerapan standar instrumen pertanian dimaksudkan untuk meningkatkan daya saing produk, perlindungan konsumen, pelaku usaha, tenaga kerja dan masyarakat khususnya di bidang keselamatan, keamanan, kesehatan dan lingkungan hidup.
Bagaimana mekanisme koordinasi BSIP dengan BSN atau lembaga standardisasi lainnya?
BSIP secara operasional akan berkoordinasi untuk proses standardisasi dengan semua pihak. Selain Standar Nasional Indonesia (SNI), BSIP juga akan merumuskan konsep Persyaratan Teknis Minimal (PTM) untuk mendukung kebijakan Kementerian Pertanian. Tidak berhenti di penyediaan, BSIP bersama dengan BSN akan menyebarluaskan standar dan mendorong penerapan standar di masyarakat.
BSIP tugas dan fungsinya bersifat spesifik terkait standardisasi lingkup instrumen pertanian dan mendukung tusi BSN melakukan perumusan standar dibidang pertanian sampai RSNI 3 (level K/L) untuk selanjutnya ditetapkan oleh BSN menjadi SNI. Kegiatan standardisasi lingkup pertanian dilakukan oleh unit eselon 3 di beberapa Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementan, nantinya akan menjadi satu pintu melalui BSIP. Sehingga memudahkan BSN melakukan koordinasi dengan Kementerian Pertanian.
Standar instrumen pertanian tentu saja perlu dikelola dengan baik agar dapat diacu dan diterapkan sepenuhnya, dilakukan penilaian kesesuaiannya di masing-masing organisasi, dikelola umpan balik penerapan standar tersebut di lapang dan tidak tumpang tindih.
Perpres 117/2022 sendiri menyebutkan, fungsi BSIP adalah menyusun kebijakan teknis perencanaan dan program, pelaksanaan koordinasi dan pemantauan, serta evaluasi dan pelaporan pelaksanaan koordinasi terhadap perumusan, penerapan, dan pemeliharaan, serta harmonisasi standar instrumen pertanian.
Artinya BSIP akan menyusun suatu rekomendasi kebijakan berdasarkan perencanaan program standardisasi. Kemudian akan mengevaluasi pelaksanaan program standardisasi tersebut, sehingga kegiatan selalu termonitor dalam pencapaian targetnya serta menerbitkan suatu rekomendasi kebijakan standar instrumen pertanian yang dibutuhkan untuk mendukung pertanian maju, mandiri, dan modern.
BSIP diberi tugas melakukan pembinaan dan pendampingan pelaku usaha pertanian dan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) untuk meningkatkan mutu produk pertanian sesuai standar merupakan implementasi dari aspek penerapan standar.
Bagaimana dengan implementasinya di daerah?
Rumusan standardisasi dan pendampingan teknis penerapan SNI akan disebarluaskan secara massif ke daerah. Pendampingan penerapan standar instrumen pertanian dilakukan dengan aktif menjaring umpan balik yang masif dari seluruh wilayah di Indonesia. BSIP nantinya memiliki unit kerja di setiap provinsi yang menjadi perpanjangan tangan BSIP.
Unit kerja inilah yang akan mengimplementasikan kebijakan standar instrumen pertanian secara berkelanjutan untuk percepatan pengembangan dan penerapan standardisasi di sektor pertanian yang simultan dengan upaya harmonisasi dengan standar internasional. Sehingga standardisasi akan menjadi faktor pengungkit yang efektif untuk mendorong produktivitas dan daya saing produk baik untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri maupun ekspor. Dari sisi pascapanen produk pertanian yang dikelola berupa prototipe unit penyimpanan, pengolahan, pengangkutan, dan produk pertanian hasil penangangan dan pengolahan primer terstandar. Standar mutu produk pertanian mengacu pada Permentan No 20 Tahun 2010 tentang Sistem Jaminan Mutu Pangan Hasil Pertanian.
“Indonesia perlu meningkatkan awareness isu-isu keamanan pangan terkini misal pemalsuan pangan, isu lingkungan (climate change, carbon footprint, emisi GRK), sehingga perlu ada sistem ketertelusuran dan monitoring“
Dalam konteks dukungan BSIP untuk peningkatan ekspor, implementasi harmonisasi dengan regulasi dan standardisasi internasional nantinya seperti apa?
Harmonisasi standar, mengacu pada UU No 20 Tahun 2014 Pasal 13 memerlukan aspek coherence atau keselarasan antara standar nasional dengan standar internasional, regional atau bilateral. BSIP akan adopsi standar internasional termasuk regional atau bilateral dengan mempertimbangkan kepentingan nasional untuk menghadapi perdagangan global; atau modifikasi standar internasional disesuaikan dengan perbedaan iklim, lingkungan, geologi, geografis, kemampuan teknologi, dan kondisi spesifik lain.
Implementasinya mengacu pada perlindungan kesehatan konsumen dan memastikan terjadinya praktek adil dalam perdagangan pangan. Food safety atau keamanan pangan menjadi dasar pengembangan standar, misalnya standar yang dirumuskan oleh CODEX yang berbasis kajian risiko akan bahan tambahan pangan, residu obat hewan dan kontaminan dalam pangan, residu pestisida, bahaya mikrobiologi dan nutrisi. Sehingga, perlu diselaraskan standar SNI dan CODEX untuk perdagangan internasional produk pertanian/pangan.
Langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah dengan memperkuat prasyarat dasar keamanan pangan dengan penerapan Good Agricultural Practices (GAP), Good Handling Practices (GHP), Good Manufacturing Practices (GMP), HACCP, Food Hygiene, dan Sistem Jaminan Mutu Pangan (SJMP) dari petani produsen hingga ke unit pengolahan (pelaku usaha/UMKM) dan sampai di tangan konsumen.
Sebagai contoh, harmonisasi GAP dengan SNI Indo-GAP dan ASEAN-GAP dimana baru selaras 44% dengan standar ASEAN agar produk pertanian Indonesia masuk ke pasar ekspor regional ASEAN. Indonesia perlu menyatukan dan mengadopsi ke-4 komponen standar ASEAN GAP (Food Safety Module, Produce Quality Module, Worker Health, Safety and Welfare Module, dan Environmental Management Module) tersebut tentu dengan menyesuaikan kondisi di Indonesia.
Indonesia perlu meningkatkan awareness isu-isu keamanan pangan terkini misal pemalsuan pangan, isu lingkungan (climate change, carbon footprint, emisi GRK), sehingga perlu ada sistem ketertelusuran dan monitoring. Berbagai penyelarasan tersebut memudahkan produk pertanian Indonesia mampu berdaya saing dan ekspor produk pertanian semakin meningkat baik di lingkup negara ASEAN maupun di negara tujuan ekspor. Pengakuan jaminan mutu Indonesia dengan beberapa negara diproses melalui bilateral arrangement dengan saling bertukar sistem dan masing-masing mempelajari dan dilakukan inspeksi, selanjutnya setelah substansi sesuai maka dilakukan kesepakatan harmonisasi Mutual Recognition Agreement (MRA) atau Memorandum of Understanding untuk perdagangan eskspor.
Setia Lesmana