Penganugerahan Habibie Prize adalah cara untuk menjaga semangat anak bangsa menghasilkan inovasi teknologi.
Perekonomian dunia kembali terguncang dan menyisakan krisis pangan, energi, dan sosial serta kesehatan di berbagai negara. Gelombang pemutusan hubungan kerja di berbagai industri padat karya menghantam banyak negara termasuk Indonesia dalam beberapa bulan terakhir.
Di tengah ketidakpastian dan persoalan sosial kemasyarakatan yang krusial, inovasi teknologi adalah obat mujarab untuk bangkit dan keluar dari jebakan krisis. Masyarakat membutuhkan teknologi tepat guna berbasis sumber daya lokal agar bisa bertahan dan kemudian bangkit.
Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Laksana Tri Handoko mengungkapkan, anugerah berupa kekayaan sumber daya alam dan sumber daya genetik yang tinggi, sejatinya bisa juru selamat dari krisis bahkan menjadikan Indonesia sejajar dan disegani bangsa-bangsa maju. Syaratnya, Indonesia memiliki sumber daya manusia (SDM) berkualitas dan menguasai inovasi teknologi.
Penguasaan inovasi dan teknologi berbasis SDM unggul itulah yang menjadi cita-cita Prof B.J. Habibie yang dikenal sebagai “Bapak Teknologi”, lanjut Laksana. Karena itu api semangat yang dikobarkan Habibie tidak boleh padam.
Filosofi dan cita-cita Habibie harus terus menginspirasi generasi berikutnya untuk melakukan lompatan teknologi, mempercepat penguasaan dan pemanfaatan teknologi yang dibutuhkan masyarakat dan industri nasional.
“Sosok Habibie telah menjadi pendorong motivasi bagi generasi muda untuk terus berkontribusi dalam memajukan Iptek,” tegasnya. Ia pun berharap, penganugerahan Habibie Prize yang dilaksanakan setiap tahun, bisa menjaga api semangat anak bangsa untuk menghasilkan inovasi dan teknologi berkelas dunia. Anugerah tersebut diberikan kepada mereka secara perorangan yang mempunyai kontribusi aktif di bidang Iptek dan inovasi. Ada empat bidang Iptek dan Inovasi yang menerima Habibie Prize, yaitu Ilmu Kedokteran dan Bioteknologi, Ilmu Dasar, Ilmu Rekayasa, dan Ilmu Filsafat, Agama, dan Kebudayaan.
Tahun 2022 ini, Habibie Prize di bidang Ilmu Kedokteran dan Bioteknologi diberikan kepada Dr drg Ika Dewi Ana, M.Kes dari Departemen Ilmu Biomedika Kedokteran Gigi, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada. Kemudian penghargaan di bidang Ilmu Dasar diterima oleh Prof Dr Ocky Karna Radjasa, M.Sc. dan Organisasi Riset Kebumian dan Maritim BRIN.
Selanjutnya, Prof Dr Ir Riri Fitri Sari, M.M., M.Sc. dari Departemen Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia menerima penghargaan di bidang Ilmu Rekayasa. Kemudian Naufan Noordyanto, S.Sn., M.Sn. dari Departemen Desain Komunikasi Visual, Fakultas Desain Kreatif dan Bisnis Digital, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, menerima penghargaan di bidang Ilmu Filsafat, Agama, dan Kebudayaan.
Tepis Ketergantungan Impor
Salah satu penerima penerima Habibie Prize, Ika Dewi Ana dinilai berjasa dalam menemukan formula obat baru sebagai serbuk penambal tulang dan gigi. Tahun 2014, Ika berhasil mengurangi ketergantungan impor bahan untuk operasi cangkok tulang, sekaligus membuat biaya operasi kian terjangkau.
Transplantasi tulang atau cangkok tulang (graft bone) akan terus meningkat kebutuhannya, seiring dengan banyaknya kasus kecelakaan lalu lintas, kecelaaan kerja, maupun bencana alam seperti gempa bumi. Sepanjang 2021 lalu misalnya, tercatat terjadi 103.645 kecelakaan lalu lintas dan 10.516 kali gempa di Indonesia.
Korban yang mengalami patah ataupun retak tulang pada bagian tubuhnya atau bahkan hancur, banyak yang memilih operasi cangkok tulang untuk mengembalikan fungsi anggota tubuhnya.
Transplantasi tulang atau cangkok tulang adalah tindakan medis yang dilakukan dengan cara mengisi bagian tulang yang rusak dengan tulang baru atau tulang pengganti. Cangkok tulang bertujuan memperbaiki dan membentuk kembali tulang yang rusak.
Dibutuhkan waktu 15 tahun bagi Ika untuk menemukan produk inovasi yang diberinama Gama-CHA ini. Ia memperoleh dua paten dari karya penelitiannya, Cangkok Tulang Gamma CHA (CHA Bone Graft) dan Spons Hemostatik Ceraspon (CHA-based Hemostatic Sponge).
Paten pertama didapat karena berhasil mengembangkan teknologi CHA (carbonate apatite) melalui metode disolusi-presipitasi mineral, sebagai suatu sistem perancah dalam rekayasa jaringan. Sedangan paten kedua didapat dari teknologi CHA yang disintesis dengan metode biomimetis yang saat ini telah dikembangkan menjadi komposit dengan dispersi ukuran nano untuk memfasilitasi pertumbuhan tulang.
Tidak berhenti di kedua inovasi tersebut, Ika dan timnya mengembangkan CHA-nanocomposite dimanfaatkan pula untuk regenerasi saraf tepi, penghantaran obat, RNA sebagai vaccine adjuvant, dan microenvironment untuk memacu pertumbuhan dan diferensiasi sel punca ke arah pertumbuhan yang diinginkan. Alhasil mereka pun diganjar dua paten atas inovasi tersebut.
Sejak tahun 2014, dokter gigi dan ahli bedah mulut di Indonesia telah menerapkan cangkok tulang karbonat apatit (CHA) hasil hibridisasi gelatin, dan biokeramik CHA yang disintesis melalui metode presipitasi basah, yang aplikasinya menggunakan pendekatan rekayasa jaringan.
“Pada saat saya melakukan penelitian graft atau cangkok tulang, di Indonesia belum ada, semua yang kita pakai dari produk luar, dan harganya mahal sekali,” katanya.
Sedangkan CHA-based Hemostatic Sponge, jelas Ika, berfungsi untuk mempercepat pembekuan darah dan regenerasi jaringan pasca operasi dentomaksilofasial. Ika menambahkan sedikit ion kalsium pada spons yang akan meningkatkan kinerja dari spons hemostatik tersebut.
Percepat Pertumbuhan Tulang
Keunggulan Gama-CHA dibandingkan produk lainnya adalah secara klinis terbukti menjadi perancah tulang yang baik pada operasi regeneratif. Bahkan, Gama-CHA memungkinkan dokter gigi, ahli bedah mulut, periodontist, dan ahli ortopedi menggunakannya dalam terapi mempercepat pertumbuhan tulang yang hilang tanpa harus mengambil tulang pasien yang masih sehat. Apalagi, menggunakan tulang dari pasien yang sudah meninggal dari bank jaringan.
Teknologi CHA ini, memungkinkan perbaikan rahang pasca pencabutan gigi, perbaikan fraktur tulang rahang, dan mempecepat penyembuhan luka pada jaringan tulang. Pasalnya, Gama-CHA mengandung unsur karbonat, kristalinitas, dan polimer yang disesuaikan dengan komposisi tulang. Kolagen yang dipakai secara imunologis bisa diterima tubuh, sehingga mempercepat remodeling tulang.
Bila tubuh manusia mengalami luka, kerusakan, kehilangan, atau abnormalitas, maka upaya yang dapat dilakukan adalah menggantikan jaringan yang rusak dengan suatu konstruksi. Konstruksi tersebut dapat menyerupai atau bahkan identik, baik struktur maupun fungsinya, dengan jaringan asli yang rusak atau hilang.
“Rekayasa jaringan memainkan peranan penting dalam perkembangan terapi regeneratif, baik di bidang kedokteran, kedokteran gigi, dan biomedika secara umum,” beber Ika.
Rekayasa jaringan adalah teknik regenerasi jaringan hidup yang fungsional, dengan menggunakan sel hidup yang dibiakkan pada sistem perancah yang tepat. Jaringan tubuh manusia, ungkap Ika, selalu terdiri atas sel dan matriks ekstraseluler (MES).
Saat terjadi perlukaan, kerusakan, atau kehilangan jaringan, tubuh memerlukan sistem pengganti MES. Sistem ini berfungsi menopang jaringan yang tersisa-tidak rusak, hilang, atau mengalami kematian, menyediakan biomolekul, dan lingkungan mikro yang sesuai aslinya, serta menginduksi perbaikan dan penyembuhan jaringan.
Sistem pengganti MES inilah yang disebut sebagai perancah. Dengan demikian, secara sederhana, perancah dapat diartikan sebagai matriks ekstraseluler sintetis yang didesain dan dikembangkan untuk menjadi pengganti matriks ekstraseluler asli yang mirip aslinya, baik struktur, arsitektur, maupun fungsinya.
Setia Lesmana