Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) mendukung pengembangan sistem transportasi berbasis kabel untuk mengangkut sarana maupun hasil produksi pertanian di wilayah perbukitan. Sistem transportasi berbasis kabel dinilai tepat guna dan memiliki banyak keunggulan, seperti mempersingkat waktu angkut dan menghemat ongkos produksi.
Sains Indonesia, Bandung Barat – Sejumlah lokasi di Kawasan Rebana dan Jawa Barat Bagian Selatan (Jabsel) seperti Sumedang, Kuningan, Tasikmalaya, dan Ciamis memiliki potensi yang sangat besar dari sektor pertanian. Dengan kontur lahan berbukit, aspek transportasi lantas menjadi tantangan tersendiri. Sebagian besar petani masih mengandalkan tenaga buruh yang dibayar berdasarkan bobot yang mereka angkut. Semakin banyak hasil pertanian, semakin banyak pula jumlah buruh yang dibutuhkan. Sementara kondisi jalan, umumnya sempit dan kurang memadai. Alhasil, biaya dan waktu angkut menjadi tidak efisien.
Berbekal tantangan tersebut, Kemenko Marves melalui Asisten Deputi Infrastruktur Pengembangan Wilayah (Asdep IPW), Djoko Hartoyo mendorong para petani di Kawasan Rebana dan Jabsel untuk menerapkan sistem transportasi berbasis kabel. Inovasi tersebut bisa menjadi solusi. Terlebih Indonesia memiliki kisah sukses dalam penerapannya.
“Sistem ini sudah dimanfaatkan, salah satunya oleh para petani di Kampung Gandok, Desa Suntenjaya, Lembang. Dan kami melihat transportasi berbasis kabel ini juga cocok diterapkan di Sumedang, Kuningan, Tasikmalaya, dan Ciamis,” papar Asdep Djoko saat memimpin Focus Group Discussion (FGD) bertema “Percepatan Program Strategis Nasional Pembangunan Kawasan Rebana dan Kawasan Jawa Barat Bagian Selatan Perpres Nomor 87 Tahun 2021) lingkup Kegiatan Sektor Pertanian” pada Kamis (17/11/2022).
Dalam FGD yang dilaksanakan di The Green Forest Resort, Parongpong, Bandung Barat, Jabar tersebut, Asdep Djoko menghadirkan narasumber yang sukses membuat sistem transportasi berbasis kabel di Lembang. Narasumber dimaksud adalah Mimin Muhaemin, Dosen Fakultas Teknologi Industri Pertanian, Universitas Padjajaran (Unpad). Dengan bantuan sejumlah mahasiswa, Mimin melakukan kajian teknis, merancang desain, dan membangun sistem transportasi tersebut hingga akhirnya bisa dimanfaatkan petani setempat.

Sejatinya transportasi berbasis kabel merupakan kombinasi antara flying fox dan kereta gantung. Sistem ini didesain untuk mempermudah dan mempercepat pengangkutan sarana dan hasil pertanian. Lembang sendiri sejak lama dikenal sebagai produsen sayuran seperti lettuce, brokoli, dan buncis. Produksi sayurannya hampir sepanjang tahun dengan hasil baik. Sayangnya sarana transportasi masih minim. Kondisi jalanan becek dan menanjak, petani terpaksa mengangkut komoditas dari bawah ke atas berulang kali di jalan yang kecil dan sempit.
“Karena jalannya sempit, proses pengangkutan hasil produksi menjadi tidak efisien. Akhirnya kami mencoba carikan solusi, yaitu dengan sistem transportasi berbasis kabel. Untuk studi di Lembang, itu semua kami kerjakan sendiri, mulai dari survey secara teknis, apakah teknologi ini dibutuhkan? juga terkait lahan, apakah lokasinya cukup kuat untuk menanggung beban konstruksinya?” ungkap Mimin dalam presentasinya secara luring.
Berdasarkan pengukuran detail lokasi. Mimin lantas mendesain sistem transportasi dengan menggunakan bentang kabel sepanjang 300 meter yang dipasang di atas tiang penyangga setinggi 32 meter. Sebagai penggeraknya, Mimin menggunakan motor listrik berdaya 5HP dengan transmisi 4 percepatan. Motor tersebut didapat dari mobil bekas yang digabungkan dengan gearbox. “Konsennya waktu itu tidak perlu cepat, tapi yang penting petani nyaman. Dalam keadaan darurat, mesin bisa diengkol manual,” papar Mimin.
Setelah desain rampung, sistem tersebut lantas diujicoba dengan cara mengangkut batu. Dan ternyata berhasil. Sistem kemudian difinalisasi dan mulai disosialisasikan kepada masyarakat petani setempat. Pasca beberapa waktu pendampingan dan dinyatakan layak dari sisi keamanan, transportasi berbasis kabel itu kemudian diserahkan kepada desa untuk dikelola, dioperasikan, dan diterapkan iuran dari setiap petani untuk biaya angkut serta perawatannya.
“Setelah transportasi ini digunakan, hasilnya waktu angkut menjadi lebih cepat. Untuk waktu angkut hasil produksi pertanian dari bawah ke atas yang semula 15 menit, bisa dipangkas menjadi 5 menit. Dan untuk mengangkut sarana seperti pupuk kandang dari atas ke bawah, yang biasanya 3 hari, sekarang bisa selesai dalam 1 hari. Artinya waktu angkut bisa 3 kali lebih cepat dibanding sebelumnya,” papar Mimin.
Ulasan yang dipaparkan oleh Mimin mendapat sambutan hangat dan antusiasme dari segenap peserta FGD. Perwakilan dari Kabupaten Kuningan menyatakan apresiasi dan tertarik untuk menggunakan sistem tersebut di daerahnya. Namun ia mengungkapkan kekhawatiran terhadap isu sosial ekonomi yang akan terjadi sebagai dampak dari alih teknologi. “Apakah nantinya akan berdampak pada alih profesi kuli panggul? Sementara kami tidak ingin ada masyarakat yang tereliminasi,” ujar perwakilan dari Kabupaten Kuningan.
Mimin mengakui bahwa untuk studi di Lembang memang terjadi isu sosial. Sejumlah petani enggan ikut memanfaatkan karena isu sosial tersebut, kuli panggul juga tidak ingin ada yang berkurang penghasilannya. Namun di sisi lain, banyak pula petani yang membutuhkan, dan justru menawarkan tanahnya untuk dipakai membangun fondasi awal. “Jadi memang aspek sosialisasi ini sangat penting pada saat studi kelayakan (Fisibility Study-FS) di awal, tidak cukup dengan studi teknik, tapi juga studi sosial ekonomi,” papar Mimin.
Perwakilan dari Kabupaten Sumedang menyinggung soal kendala dan keamanan transportasi besutan Mimin. Dengan tipografi dan kontur yang berbeda di setiap wilayah, apakah inovasi tersebut bisa sepenuhnya diterapkan di daerah lain, seperti halnya di Kabupaten Sumedang. “Untuk sebuah alat tadi, butuh biaya berapa di awal maupun untuk pemeliharaannya? Dan apa-apa saja kendala yang mungkin akan terjadi?,” ujarnya.
Menanggapi hal tersebut, Mimin mengungkap bahwa dibutuhkan biaya sekitar Rp 250 juta untuk membangun transportasi berbasis kabel di Lembang. Dari jumlah tersebut, sekitar Rp 160 juta diantaranya digunakan untuk membeli kabel gantung dan membangun tiang fondasi. Angka Rp 250 juta memang diakui Mimin sangatlah mahal. Namun hal tersebut terjadi karena sebagian besar komponen masih harus didatangkan secara impor dari luar negeri. Harga juga sangat berkaitan dengan lokasi. Semakin sulit lokasinya, harga menjadi semakin mahal.
“Saat ini untuk kebutuhan kabel, sudah bisa dipesan di Bekasi. Jadi tidak perlu lagi impor. Dan terkait harga untuk setiap lokasi juga akan berbeda-beda, bergantung pada lokasinya. Namun biasanya, semakin sulit lokasinya, harga akan semakin mahal. Kita perlu melakukan kajian teknis di lokasi untuk melihat, jenis transportasi apa yang dibutuhkan, apakah harus dengan kabel, atau mungin bisa menggunakan rel yang lebih murah?,” ungkap Mimin.
Adapun dari sisi kendala, Mimin melihat bahwa setelah sekian lama, masyarakat dan petani di Suntenjaya kurang memperhatikan keamanan dan keselamatan dari pengguna. Mereka cenderung abai dan mengangkut beban berlebihan. Operator juga terkadang kurang fokus sehingga beberapa kali terjadi kecelakaan kecil. “Dalam jangka panjang, efektivitas pengelola mulai berkurang. Masyarakat cenderung tidak melaksanakan kegiatan pemeliharaan rutin seperti memberikan pelumas. Hampir semua kerusakan alat terjadi karena faktor pelumas yang tidak diganti,” papar Mimin.
Sebagai penutup FGD, Asdep Djoko menegaskan bahwa sebagai kementerian koordinator, Kemenko Marves akan senantiasa memfasilitasi dan mendukung. Inovasi transportasi dengan kabel merupakan salah satu upaya penerapan teknologi tepat guna yang cocok diterapkan di lahan berbukit. “Kemenko Marves mendorong agar petani bisa memanfaatkan terobosan ini, agar nantinya proses produksi menjadi lebih efisien. Inovasi ini akan sangat menguntungkan petani,” pungkas Asdep Djoko.
Faris Sabilar Rusydi