Jumat itu, 13 Desember 1957 di Jakarta, tengah berlangsung Sidang Dewan Menteri yang dipimpin oleh Perdana Menteri, Ir H Djoeanda. Sidang itu membahas soal perairan negara Republik Indonesia, untuk dibawa ke Sidang Hukum Laut Internasional ke-I , UNCLOS-I, April 1958, di Jenewa, Swiss. Pada sidang dewan menteri tersebut diputuskan: ”Penentuan Batas Lautan teritorial, yang lebarnya 12 mil, diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik ujung terluar pada pulau-pulau Negara Indonesia”. Dengan menghubungkan titik-titik ujung terluar pulau-pulau tadi, maka wilayah kepulauan Nusantara, Tanah Air Indonesia, menjadi utuh dan terintegrasi. Inilah yang kemudian dikenal sebagai “Deklarasi Djoeanda”.
Deklarasi Djoeanda yang menegaskan kedaulatan negara dan potensi kelautan saat ini bisa dinikmati Indonesia tidak lepas dari buah pikiran dan perjuangan seorang bernama Mochtar Kusumaatmadja. Beliaulah yang mengubah konsep luas wilayah laut teritorial dari semula menggunakan ordonasi Belanda 1939 -dimana luas wilayah laut teritorial Indonesia hanya 3 mil-, menjadi 12 mil. Beliaulah yang membuat garis dasar lurus pada peta, yang ditarik dari satu titik terluar ke titik terluar lain dari wilayah darat atau pulau yang dikuasai oleh Indonesia.
Metode ini dikenal sebagai point-to-point sehingga seluruh kepulauan Indonesia diikat sabuk straight-baseline, dengan wilayah perairan dan daratan menjadi satu kesatuan yang disebut sebagai kepulauan Indonesia. Hal ini mewujudkan cita-cita bangsa untuk menjadi Tanah Air dan membuat Indonesia tidak tercerai berai. Selama dua puluh lima tahun, Profesor Mochtar Kusumaatmadja bersama para ahli hukum laut dan para diplomat Indonesia lainnya berupaya untuk meng-goal-kan Deklarasi Djoeanda pada sejumlah pertemuan yang membahas hukum laut Internasional. Baru pada Sidang Hukum Laut International ketiga, yaitu 3rd United Nations Convention on Law of the Seas (3rd UNCLOS) di Jamaica, 10 Desember 1982, UNCLOS ditetapkan dan mulai berlaku November 1994.
Sejak itu, Konsep Negara Kepulauan (the archipelagic state concept) yang diusung Indonesia, diakui dan ditetapkan dalam UNCLOS. Itu berarti, tanpa satu letusan peluru dan tanpa satu tetespun darah mengalir maka Luas Wilayah Laut Indonesia bertambah menjadi 5,8 juta kilometer persegi, terdiri 1,9 juta kilometer persegi laut teritorial dan 3,9 juta kilometer persegi zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI).
Ditambah lagi, apabila Indonesia dapat membuktikan secara ilmiah lapisan batuan sedimen menerus sampai 350 mil menjorok ke laut, maka Indonesia berhak pula untuk mengklaim wilayah landas kontinen hingga 350 mil. Sesuai UNCLOS 1982, Kapal-kapal asing masih boleh melintas secara bebas (free passage) di perairan kepulauan Indonesia melalui tiga Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) berarah Utara-Selatan, yaitu ALKI-I yang melewati Selat Sunda, ALKI-II yang melewati Selat Makassar – Selat Lombok, dan ALKI-III yang melewati Ombay-Wetar.
Perlu persiapan 12 Tahun -sejak 1982- hingga resmi UNCLOS’82 diberlakukan. Indonesia segera Meratifikasi UNLCOS melalui UU Nomor 17 Tahun 1985 Tentang Pengesahan Konvensi Hukum Laut 1982. Kemudian sarana dan prasarana keselamatan dan keamanan navigasi di selat-selat ALKI, termasuk radar-radar pantai, dibangun. Satu skadron pesawat Intai Strategis TNI AU, dilengkapi sensor Side-Looking Airborne Multimission Radar (SLAMR) disiapkan guna kegiatan patroli maritim hingga ZEEI. Sampai tahun 2020, sudah 158 negara mengakui UNCLOS 1982 dan Indonesia diakui sebagai negara kepulauan terbesar di Dunia.
Pada 1996, sistem kelembagaan untuk mendukung Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di Dunia mulai dirintis. Melalui Perpres Nomor 77 Tahun 1996 dibentuk Dewan Kelautan Nasional dengan Ketua Dewan Presiden Soeharto dan Ketua Harian adalah Menko Polkam Soesilo Soedarman, beranggotakan 15 Menteri plus Panglima ABRI. Ini merupakan inisatif Pemerintah untuk Bangsa Indonesia kembali ke laut.
Berawal dari kesadaran bahwa laut tanpa riset, tanpa ilmu pengetahuan, dan tanpa teknologi (Iptek) hanyalah hamparan air berwarna biru, maka implementasi UNCLOS 1982 dimulai dengan pendekatan riset dan Iptek. Inventarisasi keanekaragaman hayati laut Indonesia digencarkan. Kemudian posisi geotektonik wilayah Nusantara -yang merupakan tumbukan tiga lempeng tektonik, utamanya tumbukan di laut- mulai dikaji lebih dalam. Tumbukan tiga lempeng tektonik ini memunculkan gempa bumi, tsunami, dan erupsi gunung api. Namun selain bencana alam, tumbukan tiga lempeng tektonik tadi menjadikan wilayah Nusantara kaya mineral, minyak, dan gas bumi. Terutama di laut. Belum lagi kondisi oseanografis lautan Indonesia yang berada di antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia, membuat arus lintas Indonesia bisa memicu variabilitas iklim, seperti El Nino dan La Nina, melalui hipotesa Arus Lintas Indonesia (Arlindo) dan Indian Ocean Dipole(IOD).
Pendekatan ilmiah tadi akhirnya dituangkan ke dalam Deklarasi Benua Maritim Indonesia, yang ditandatangani oleh Menko Polkam Selaku Ketua Harian Dewan Kelautan Nasional, Menristek selaku Ketua Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia, Gubernur Lemhannas dan Deputi BPPT untuk pengembangan kekayaan alam, pada Konvensi Benua Maritim Indonesia di Makassar, 18 Desember 1996.
Saat Presiden Abdurrachman Wahid membentuk Kementerian khusus yang mengurusi kelautan, maka yang dibentuk adalah Departemen Eksplorasi Laut (1999), karena ini merupakan implementasi dari UNCLOS 1982 dengan pendekatan ilmiah. Jadi, yang diutamakan adalah eksplorasi kelautannya. Baru kemudian komponen sub-sektor perikanan ditambahkan, menjadi Kementerian Kelautan dan Perikanan hingga sekarang ini.
Setelah itu, Presiden Habibie memprioritaskan laut dengan mencanangkan Deklarasi Bunaken (1999), Presiden Megawati mencanangkan Seruan Sunda Kelapa (2001), sedang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bahkan mencanangkan Manado Ocean Declaration 2009, Coral Triangle Initiative 2009 dan memperkenalkan Blue Economy pada KTT Rio + 20 di Brazil (2012). Sebagai tokoh Dunia yang dipilih Sekjen PBB untuk menyusun Sustainable Development Goals (SDGs), Presiden SBY bahkan sukses memasukkan unsur laut dan sumberdaya kelautan ke dalam Goal Nomor 14 dari SDGs yang ditetapkan PBB pada 2015.
Setelah beragam kelembagaan dan regulasi tentang kelautan dan perikanan terbentuk, berupa UU Tentang Kelautan, UU Tentang Perikanan, serta UU Tentang Pesisir dan Pulau Pulau Kecil maka sejak Oktober 2014, Presiden Jokowi mencanangkan Indonesia Poros Maritim Dunia, sekaligus membentuk Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman. Kemudian Perpres Nomor 16 Tahun 2017 Tentang Kebijakan Kelautan Indonesia diterbitkan, sedang untuk memacu industri perikanan Nasional, disediakan Inpres Nomor 6 Tahun 2016. Melalui kebijakan kelautan Indonesia tadi, ditetapkan pula rencana aksi yang harus dievalusi setiap enam bulan dengan sasaran sasaran terukur. Harus pula diinventarisasi kendala-kendala yang dihadapi.
Maka Hari Nusantara yang diperingati setiap 13 Desember sejatinya merupakan momentum untuk menggelorakan kembali semangat Deklarasi Djoeanda 13 Desember 1957. Menggelorakan kembali semangat membangun Benua Maritim Indonesia. Harus selalu disadarkan kepada kita semua bahwa Indonesia adalah Negara Kepulauan terbesar di Dunia yang memiliki lebih dari 17.000 pulau, berpenduduk 271 juta jiwa, dengan potensi sumberdaya kelautan yang sangat melimpah. Jangan sampai urusan Kelautan yang besar ini terdegradasi hanya pada soal alat tangkap cantrang saja, apalagi hanya soal urusan ekspor benur lobster semata.
Penyelesaian Batas Maritim antara Indonesia dan Malaysia bisa menjadi kado indah perayaan Hari Nusantara. Terlebih Pemerintah Republik Indonesia dan Kerajaan Malaysia telah menyatakan kesiapan untuk menyelesaikan masalah maritim di dua perbatasan kedua negara dengan jalan damai, yaitu di wilayah Selat Malaka bagian selatan dan Laut Sulawesi. Kedua negara terus berdiplomasi, agar isu yang masih belum selesai bisa cepat diselesaikan. Cara Pemerintah Republik Indonesia dan Malaysia dalam menyelesaikan masalah perbatasan negara secara damai diharap bisa menjadi pesan penting di kawasan Asia Tenggara, terutama terkait prinsip penyelesaian isu melalui cara damai dan sesuai dengan hukum internasional, dalam hal ini UNCLOS 1982.
Indroyono Soesilo, Menko Kemaritiman RI, 2014 – 2015