Belum lama ini Uni Eropa resmi mengeluarkan aturan terbaru. Dalam kesepakatan Uni Eropa, perusahaan yang mengekspor barang ke wilayah mereka wajib untuk menjamin produknya tidak diproduksi di lahan yang mengalami deforestasi setelah 31 Desember 2020. Langkah ini diambil untuk mengurangi emisi karbon global. Lantas bagaimana dengan nasib ekspor CPO Indonesia ke depannya?
Imbas dari kesepakatan tersebut, setiap perusahaan yang mengekspor barang ke Uni Eropa harus menjamin produk mereka tidak diproduksi di lahan yang mengalami deforestasi setelah 31 Desember 2020. Adapun lingkup produk yang akan dipantau terutama meliputi minyak kelapa sawit, ternak sapi, kedelai, kopi, cokelat, kayu, karet, serta produk turunannya, seperti daging sapi, furnitur, dan cokelat. Produksi berbagai barang komoditas tersebut selama ini dianggap telah memicu deforestasi yang masif di sejumlah negara seperti Brasil, Indonesia, Malaysia, Nigeria, Republik Demokratik Kongo, Etiopia, Meksiko, dan Guatemala.
Informasi terkait kesepakatan tersebut diungkap oleh Komisi Eropa dalam siaran persnya pada Selasa, 6 Desember 2022, atau sehari menjelang KTT COP-15 tentang keanekaragaman hayati yang dijadwalkan digelar pada 7-19 Desember 2022. Dalam rilisnya, Komite Eropa akan tegas menindak setiap pelanggaran yang timbul dari konsekuensi kesepakatan tersebut. Para pelanggar nantinya akan dikenai denda hingga empat persen dari omzet tahunan mereka yang diperoleh dari Uni Eropa.
Komisi Eropa optimistis dampak aturan baru itu akan melindungi sedikitnya 71.920 hektare hutan atau sekitar 10.000 lapangan sepak bola setiap tahunnya. Aturan ini adalah salah satu upaya yang dapat mengurangi emisi karbon global tahunan sebesar 31,9 juta metrik ton per tahun. Aturan terbaru UE juga mewajibkan agar perusahaan industri penebangan kayu memastikan aktivitas mereka memenuhi standar keberlanjutan yang tinggi serta mengganti pohon yang mereka tebang dengan menanam pohon baru.
Kendati demikian, Rancangan Undang-Undang (RUU) ini belum diratifikasi baik oleh Dewan Eropa dan Parlemen Eropa. Namun Komisi Eropa mengatakan, usai ditandatangani seluruh pihak terkait dan resmi terlahir sebagai UU baru, maka pemberlakuannya dapat dilakukan usai 20 hari. Setelah melewati semua prosedur itu, otoritas dan penjual selanjutnya memiliki waktu 18 bulan untuk mematuhi peraturan baru. Perusahaan asing yang lebih kecil diberikan tenggat waktu lebih lama yaitu 24 bulan agar bisa beradaptasi dengan peraturan ini.
Kesepakatan Uni Eropa tersebut mendapat sambutan positif dari sejumlah kalangan/aktivis lingkungan. Organisasi lingkungan hidup Greenpeace dan WWF menyebut RUU itu sebagai terobosan besar. ”Peraturan ini adalah yang pertama di dunia untuk mengatasi deforestasi global dan secara signifikan akan mengurangi jejak UE terhadap (kerusakan) alam,” kata WWF dalam pernyataan tertulisnya.
Ketua Komite Lingkungan Parlemen Eropa Pascal Canfin, sebagaimana dilaporkan AFP, juga memuji kesepakatan tersebut. ”Namun, hal ini dinilai akan memengaruhi barang sehari-hari yang dikonsumsi orang Eropa. Kopi yang kita konsumsi untuk sarapan, cokelat yang kita makan, batubara di barbeku kita, kertas di buku kita. Ini radikal,” katanya. Pascal lantas meminta Uni Eropa untuk melangkah lebih jauh dengan memperluas cakupan undang-undang untuk memasukkan sabana, yang juga terancam oleh para peternak dan petani yang melanggar batas.
Imbas Bagi Indonesia
Kendati dinilai sebagai terobosan positif bagi hutan dunia. Namun di sisi lain sejumlah negara beranggapan aturan terbaru itu dapat merugikan perdagangan internasional. Salah satunya yakni Indonesia, yang merupakan salah satu mitra dagang terbesar Uni Eropa. Berdasarkan laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang perdagangan internasional, per 2021 impor produk hewani dan minyak kelapa sawit Indonesia ke Uni Eropa mencapai Rp 55 triliun. Lantas bagaimana nasib CPO Indonesia ke depannya?
Harga minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO) melesat di sesi awal perdagangan Kamis (8/12/2022), meski Uni Eropa resmi menyetujui undang-undang terkait deforestasi. Melansir Refinitiv, harga CPO pada sesi awal perdagangan meroket 2,07% ke MYR 4.051/ton pada pukul 08:46 WIB. Namun, harga CPO masih drop 0,66% secara mingguan dan tergelincir 3,5% secara bulanan. Dalam setahun, harga CPO juga ambles 15,22%.
Lebih lanjut, harga CPO berakhir ambles 3,05% menjadi MYR 3.969/ton (US$ 903,07/ton) pada Rabu (7/12) setelah Uni Eropa menyetujui undang-undang baru untuk mencegah perusahaan menjual komoditas yang memiliki keterkaitan erat dengan deforestasi.
Sejatinya, isu tersebut memang sudah bergulir sejak lama dan Indonesia berhasil menurunkan deforestasi secara signifikan. Berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), angka deforestasi bersih Indonesia medio 2019-2020 seluas 115.459 hektare, turun sampai 75% dibandingkan periode 2018-2019 yaitu sebesar 462.460 hektare. Data tersebut merupakan data deforestasi Indonesia yang disesuaikan dengan peta rupa bumi terbaru di Kebijakan Satu Peta (KSP).
Sebagaimana dilansir dari cnbcindonesia, Plt Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (KLHK) Ruanda Agung Sugardiman mengatakan, bahwa pemantauan deforestasi tersebut menggunakan citra satelit Landsat 8 OLI yang disediakan oleh Lapan (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional). Hasilnya, Indonesia memiliki tutupan hutan 95,6 juta hektare atau 50,9% dari daratan, dari luas itu 92,5% atau 88,4 juta hektare di kawasan hutan. Namun terlepas dari pencapaian yang signifikan tersebut, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk terus menekan laju deforestasi di Indonesia.
“Tantangan selanjutnya adalah memenuhi peningkatan permintaan yang berlanjut untuk produk yang dibuat dari minyak kelapa sawit, sambil memastikan deforestasi terus menurun. Selain itu, laju CPO juga terbebani oleh harga minyak saingan yang melemah. Harga minyak kedelai di Dalian berakhir turun 0,5%. Minyak kelapa sawit dipengaruhi oleh pergerakan harga minyak terkait, karena mereka bersaing untuk mendapat bagian di pasar minyak nabati global,” ujar Ruanda.
Faris Sabilar Rusydi