Fasilitas Proton Terapi Segera Dibangun

0
157

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) berencana membangun fasilitas proton terapi dalam waktu dekat. Kebijakan ini dinilai bisa memperkuat dan mempercepat penguatan Iptek Nuklir untuk energi dan industri kesehatan.

Jakarta, Sains Indonesia – Sejak Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) resmi dilebur ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), sejumlah kalangan pesimistis pemanfaatan Iptek Nuklir yang telah ada akan terbengkalai. Namun Kepala BRIN, Laksana Tri Handoko menyebut, pihaknya justru sangat concern mengembangkan kegiatan riset ketenaganukliran. Pria yang akrab disapa LTH itu bahkan berani mengungkap rencana besar BRIN dalam mengembangkan fasilitas ketenaganukliran. Salah satunya adalah proton terapi untuk industri kesehatan.

Rencana tersebut diungkapkan LTH dalam G A Siwabessy Memorial Lecture 2022 di Jakarta, 12 Desember 2022. Disebutnya, BRIN bersama dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) terus menjalin kobalorasi terkait pemanfaatan Iptek Nuklir untuk kesehatan. Riset difokuskan untuk mengembangkan teknologi terapi nuklir yang efisien, masif, dan mampu menjangkau semua lapisan masyarakat. Kawasan Nuklir di Pasar Jumat yang sebelumnya dimiliki Batan, kini dimanfaatkan secara khusus untuk merealisasikan tujuan tersebut.

“Kita ingin membuat itu semua (terapi nuklir) terjangkau. Karena itulah kita fokuskan kawasan nuklir di Pasar Jumat untuk aplikasi teknologi nuklir untuk medis dan industri. BRIN juga akan merevitalisasi reaktor riset siwabessy di KST (Kawasan Sains Teknologi) Habibie, Serpong. Ke depannya kami akan pusatkan seluruh aktifitas riset nuklir berbasis reaktor di siwabessy. Kita akan tata ulang, dan perbesar sesuai dengan perkembangan zaman,” ucap LTH. 

Adapun untuk fasilitas Kawasan Nuklir di Pasar jumat, LTH menyebut ke depannya akan difokuskan untuk wahana platform kerja sama dengan industri, medis maupun non medis. “Insya Allah kita akan mulai awal tahun depan untuk irradiator untuk industri alat kesehatan dan pangan. Kemudian akan dilanjut minimal dengan Lab CT Scan, produksi radioisotop dan radiofarmaka, kemudian juga beberapa akselator khususnya proton terapi,” tambahnya. 

Reaktor Serba Guna G A Siwabessy di KST Habibie, Serpong, Tangerang Selatan, Banten.

LTH berharap proton terapi di Indonesia nantinya dapat dilakukan dengan harga terjangkau. Meskipun saat ini terapi proton masih menjadi sesuatu yang mahal, namun LTH menegaskan BRIN akan membuat fasilitas terapi proton tersebut menjadi sharing facility untuk seluruh rumah sakit di Indonesia. Dengan begitu, harga dapat ditekan. Dengan harga yang terjangkau, proton terapi diharapkan bisa masuk dalam skema BPJS Kesehatan sehingga akan semakin banyak masyarakat yang bisa memanfaatkan fasilitas tersebut.

“Terapi proton ini penting, karena merupakan salah satu teknologi yang cukup maju, relatif jauh berpotensi merusak sel-sel di sekitar organ tubuh. Tidak seperti kemo. Namun terapi ini mahal, dan kalau RS Swasta mungkin bisa melakukan sendiri. Total investasinya bisa mencapai Rp 1 trilyun, termasuk gedung, penyiapan SDM, dan sebagainya. Maka itu yang kita tawarkan, Kawasan KST Siwabessy di Pasar Jumat, dan semua RS bisa memakainya,” ungkap LTH. 

Kendati demikian, LTH tidak menyangkal bahwa saat ini pengembangan proton terapi masih memiliki banyak tantangan. Tantangan terbesar adalah ketersediaan Sumber Daya Manusia (SDM) ahli di bidang ketenaganukliran di Indonesia yang masih minim. Faktor ini diakui LTH sempat membuat BRIN ragu untuk membangun fasilitas pengembangan akselerator tersebut. “Sebenarnya kita sudah berencana memulainya tahun depan. Tapi karena SDM yang ekspert di bidang itu belum siap. Jujur saya tidak berani memulainya tahun depan,” ucapnya.

LTH menyebut bahwa selain proton terapi, BRIN juga mengembangkan ide-ide baru lainnya untuk Iptek Nuklir pada bidang kesehatan. Oleh sebab itu, BRIN harus memulai percepatan SDM. “Saya yakin Indonesia bisa menjadi mandiri, karena dengan populasi sebesar ini kita tidak mungkin, tidak memiliki akselerator proton terapi. Nuklir merupakan keniscayaan, tapi kita harus menyadari masih banyak perbaikan dan percepatan, khususnya SDM. Sehingga kemungkinan, paling cepat pada 2025 kita bisa melakukan pembangunan akselelator, baik sinkrotron ataupun yang lainnya,” ujar LTH. 

Faris Sabilar Rusydi

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini