Pemerintah Indonesia terus mendorong penerapan industri hijau untuk mencapai target nol emisi pada 2060. Di tengah banyaknya alternatif teknologi pada industri hijau, audit dan evaluasi teknologi menjadi penting untuk memastikannya efisien dan tepat guna. Evaluasi teknologi secara “ex-ante” juga dapat mencegah pemilihan teknologi yang tidak tepat.
Jakarta, Sains Indonesia – Tujuh tahun berlalu sejak Indonesia menyepakati perjanjian Paris atau Paris Agreement 2015. Indonesia berkomitmen mencapai target Net Zero Emission (NZE) selambatnya pada 2060 atau lebih cepat. Sejak itu pula sejumlah upaya mulai dilakukan. Salah satunya adalah upaya mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 29 persen (dengan kemampuan sendiri) hingga 41 persen pada 2030 (dengan dukungan internasional).
Menurut Ketua Umum Ikatan Audit Teknologi Indoneisa (IATI), Hammam Riza, target NZE pada 2060 adalah upaya Indonesia dalam rangka memenuhi kesepakatan global dalam Paris Agreement 2015. “Upaya mencapai target tersebut adalah melaksanakan transisi energi dari ketergantungan pada energi fosil menuju pemanfaatan energi bersih berkelanjutan,” tutur Hammam Riza, saat memberi sambutan pembukaan diskusi nasional bertajuk Peran Audit Teknologi dan Evaluasi Energi di Jakarta, Rabu (14/12).
Hammam menyebut, pemerintah Indonesia saat ini telah dan tengah melakukan berbagai langkah strategis melalui penyesuaian ataupun pembuatan kebijakan baru yang mendukung pencapaian NZE. Salah satunya yaitu mendorong industri hijau. Ke depannya, sektor ini akan sangat potensial untuk menarik investasi asing masuk ke Tanah Air. Industri rendah dan nol emisi ke depannya akan lebih unggul karena banyaknya industri global yang mensyaratkan ketersediaan pembangkit ramah lingkungan dalam proses produksinya.
“Persaingan untuk menarik investasi asing masuk ke Indonesia akan terkendala ketersediaan pembangkit listrik bersih. Saat ini banyak industri telah mensyaratkan adanya pembangkit ramah lingkungan dalam proses produksinya, karena komitmen mereka terhadap dunia untuk memenuhi pengurangan emisi karbon di udara.Bahkan hal ini sudah menjadi syarat mutlak bagi produksi yang akan masuk ke Eropa. Sebab negara-negara maju mulai mewajibkan sertifikat bebas karbon (Carbon Foot Print) dalam setiap produksi yang dipasarakan di negara mereka,” tegas Hammam.
Menurut Hammam, IATI bersama Masyarakat Konservasi dan Efisiensi Energi Indonesia (MASKEEI) dan Institut Evaluasi Energi Indonesia (IEEI) melihat pentingnya mengembangkan kapasitas, khususnya SDM yang mampu melakukan evaluasi dan audit teknologi. SDM yang kompeten di bidang evaluasi dan audit teknologi sangat dibutuhkan, khususnya pada upaya pemenuhan standar pencapaian pengurangan emisi karbon maupun carbon foot print di sektor industri.
“Peran audit dan evaluasi teknologi diperlukan untuk mencegah adanya penerapan teknologi yang tidak tepat guna dan memanfaatkan energi secara tidak efisien. Evaluasi teknologi secara ‘ex-ante’ juga bisa mencegah pemilihan teknologi yang salah sehingga dapat dihindari kerugian dalam proses produksi di industri. Kami (IATI, MASKEEI, dan IEEI) berharap dapat bekerjasama dengan kementerian terkait untuk bresamamewujudkan target pemerintah yaitu transisi energi menuju Net Zero Emission (NZE) tahun 2060,” lanjut Hammam.
Efisiensi Energi adalah Kunci
Efisiensi energi memegang peranan penting dalam upaya mengurangi GRK. Sebuah studi yang dilakukan oleh forum global The Energy Efficiency Movement belum lama ini menunjukkan peningkatan efisiensi energi pada sektor industri merupakan cara tercepat dan terefektif untuk memangkas biaya energi dan emisi gas rumah kaca. Efisiensi energi juga dinilai sebagai solusi terbaik bagi perusahaan dalam upayanya mengendalikan perubahan iklim.
Dalam studi berjudul Industrial Energy Efficiency Playbook itu, terdapat 10 aksi nyata yang dapat dilakukan sektor bisnis untuk meningkatkan efisiensi energi, mengurangi beban biaya, dan menurunkan emisi. Antara lain dengan mengandalkan solusi teknologi yang terintegrasi dan tersedia secara luas yang menjanjikan imbal hasil serta rasio pengembalian investasi (ROI) yang cepat dan mampu digunakan dalam skala besar.
Senior Program Manager, Energy Efficiency dari International Energy Agency (IEA), Kevin Lane menyebut, di saat sektor industri menghadapi urgensi menghadapi isu perubahan iklim di seluruh lini, antara lain melalui penggunaan energi terbarukan, investasi dalam proses rendah karbon serta pengembangan model bisnis sirkular, efisiensi energi muncul sebagai peluang terbaik yang fokus pada prospek bisnis jangka pendek terhadap upaya pengurangan emisi.
“10 aksi konkret dalam laporan tersebut memetakan solusi hemat biaya yang bisa digunakan dalam skala cepat untuk membantu perusahaan mewujudkan ambisi pengendalian dampak perubahan iklim menjadi sebuah tindakan konkret,” ujarnya, sebagaimana dikutip dari laman resmi IEA, www.iea.org, (13/12).
Menurut IEA, sektor industri merupakan konsumen listrik, gas alam, dan batu bara terbesar di dunia yang bertanggungjawab terhadap 42 persen total permintaan listrik global (setara dengan lebih dari 34 exajoules energi). Industri besi, baja, kimia, dan petrokimia merupakan pengguna energi tertinggi di antara lima negara konsumen energi terbesar di dunia, yaitu China, Amerika Serikat, India, Rusia, dan Jepang.
Menurut IEA, Konsumsi energi tersebut menyebabkan peningkatan beban biaya di tengah kontraksi inflasi dunia saat ini. Tidak hanya itu, hal ini juga mengakibatkan produksi sembilan gigaton CO2, setara dengan 45 persen total emisi langsung yang dihasilkan sektor pengguna akhir pada tahun 2021. Laporan tersebut merupakan hasil wawancara dengan sejumlah organisasi multinasional, diantaranya yaitu ABB, Alfa Laval, DHL Group, IEA, Microsoft serta ETH Zürich, Institut Teknologi Federal Swiss.
Para kontributor dalam studi tersebut merekomendasikan sejumlah solusi strategis, seperti audit energi, menentukan ukuran mesin industri yang tepat dan hemat energi, memindahkan data dari on-site server ke cloud untuk menghemat sekitar 90 persen energi yang digunakan sistem IT, mempercepat transisi armada di sektor industri berbahan bakar fosil ke armada berbahan bakar listrik, mengganti boiler gas ke pompa panas, hingga menggunakan penukar panas yang terpelihara dengan baik untuk mengoptimalkan efisiensi.
Aksi lain yang bisa dilakukan adalah memasang sensor dan pemantauan energi digital secara real-time untuk mengungkapkan apa yang disebut ‘ghost assets’ pada saat penggunaan daya dalam kondisi stand-by, tidak seperti digital twin yang dapat mensimulasikan efisiensi tanpa mengganggu proses produksi. Selain itu, penggunaan solusi smart building untuk mengontrol sistem tenaga, penerangan, tirai dan pemanas, ventilasi, dan pendingin udara (HVAC) di fasilitas industri dapat menghemat energi.
Menurunkan Biaya Energi
Menurut President Motion Business Area ABB, Tarak Mehta, saat ini telah tersedia solusi efisiensi energi yang membantu industri memitigasi perubahan iklim dan menurunkan biaya energi, tanpa mengorbankan kinerja dan produktivitas. Melalui kemajuan teknologi terdepan dalam efisiensi energi, industri dapat melakukan peningkatan efisiensi secara signifikan melalui teknologi yang tersedia.
Rekomendasi dari IEA, menurut Tarak Mehta, sangat tepat bagi dunia industri karena memuat langkah-langkah praktis yang bisa diambil oleh eksekutif perusahaan untuk mengurangi penggunaan energi dan biaya dengan tetap mempertahankan operasinya.
Dalam studi tersebut, sektor industri juga direkomendasikan untuk memasang variable speed drive guna meningkatkan efisiensi energi pada sistem penggerak motor hingga 30 persen. Jika lebih dari 300 juta sistem kelistrikan industri berbasis motor yang saat ini beroperasi dapat diganti dengan penggerak motor yang lebih optimal dan memiliki efesiensi tinggi, hal ini akan mengurangi konsumsi listrik global hingga 10 persen.
Menurut Vice President Head of Local Business Area Motion ABB Indonesia, Chen Kang Tan, dampak peningkatan efisiensi energi akan bervariasi dari satu sektor industri ke lainnya dan memberikan peluang efisiensi biaya dan emisi yang sangat besar. Ditambah lagi, mitigasi pengendalian dampak perubahan iklim oleh sektor industri sangat dibutuhkan di berbagai tingkatan mengingat berbagai manfaat yang dapat dihasilkan dalam waktu singkat dengan tingkat risiko yang minim.
“Seringkali kita berpikir telah melakukan upaya efisiensi yang optimal. Namun perkembangan pesat teknologi dalam kurun waktu satu dekade terakhir membuka peluang efisiensi energi yang lebih besar. Teknologi yang dibutuhkan industri untuk mengoptimisasi efisiensi energi telah hadir, dan saat ini adalah waktu yang paling tepat untuk mengimplementasikannya,” jelas Chen Kang. (FSR)