Minggu 19 Desember 1948, pasukan payung Belanda dari Brigade T, dibawah komando Kolonel Van Langen, menyerbu pangkalan udara Maguwo Yogyakarta. Pesawat P-51 Mustang AU Belanda “Cocor Merah” menembaki lokasi-lokasi strategis di pusat kota. Dari arah Magelang, bergerak tank-tank Suart dan Bren Carrier, serta panser-panser jenis Ford Lynk, Humber, dan Otter Body Car Belanda menerjang garis demarkasi Perjanjian Renville dan menyerbu Ibu Kota Perjuangan. Operatie Kraai, atau Operasi Gagak, dimulai.
Belanda telah mengkhianati Perjanjian Renville 1948, mereka menangkap dan mengasingkan Presiden, Wakil Presiden, serta Pimpinan Negara. “Republik Indonesia sudah habis, yang tersisa hanya ekstrimis-ekstrimis”, sesumbar pihak Belanda. Ternyata, itu hanya kemenangan Belanda sesaat. Panglima Besar Jenderal Soedirman telah mengantisipasi serbuan Pasukan Belanda ke Ibu Kota Perjuangan Yogyakarta ini.
Panglima Besar Jenderal Soedirman segera menerbitkan Perintah Siasat Nomor 1 Tahun 1948, yang intinya menyatakan bahwa perang linier telah berakhir, dan sekarang dimulai perang gerilya. Seluruh satuan TNI keluar dari Yogyakarta, pasukan Siliwangi Long March kembali Ke Jawa Barat. Begitu juga pasukan-pasukan lainnya yang keluar dari Ibu Kota Perjuangan dan membentuk wilayah kantong-kantong gerilya untuk mengobarkan perang gerilya semesta di seantero Nusantara.
Unit pasukan Akademi Militer Yogya (MA-Yogya), terdiri para perwira remaja dan kadet MA-Yogya, dipimpin Direktur MA-Yogya, Kolonel GPH Djatikoesoemo, segera bergerak keluarga kota dan mengambil posisi di wilayah Barat Laut Yogyakarta, membentuk wilayah perlawanan Sub-Wehrkreise 104 / Wehrkreise III. Wilayah perlawanan gerilya disekitar Yogyakarta dibagi menjadi 7 Sub-Wehrekeise, dibawah Komandan Wehrkreise III, Letkol Soeharto.
Gerilyawan MA-Yogya mengambil posisi markas di wilayah-wilayah: Desa Selomartani, Desa Bimomartani, Desa Kali Bulus, Dusun Plataran, Dusun Sambiroto, Dusun Ngrangsan, Dusun Kledokan dan Dusun Gatak, kesemuanya di wilayah Kecamatan Kalasan, hanya 7 Kilometer dari Candi Prambanan Yogyakarta. Para gerilyawan tinggal di rumah-rumah rakyat, dirawat oleh rakyat, diberi makan oleh rakyat, dan markas mereka selalu berpindah pindah guna menghindari serangan pasukan Belanda.
Dari markasnya ini, para gerilyawan menyerang pasukan Belanda hingga wilayah Kaliurang di lereng Gunung Merapi. Juga menyerang Pangkalan Udara Maguwo, masuk kota menyerbu Markas Belanda di Jalan Gondokusuman, serta meledakkan jembatan-jembatan Bogem, Bendan dan Kali Wedi yang menghubungkan jalan raya Yogyakarta-Solo. Dari dokumen pihak Belanda dan pihak Satuan Sub-Wehrkerise 104/WK-III, tercatat 16 kali pertempuran diantara kedua belah pihak pada kurun Desember 1948 hingga Juni 1949.
Sepulangnya dari medan pertempuran, rakyat telah menyiapkan teh, kopi, dan penganan untuk para gerilyawan lewat dapur umum yang dibangun oleh rakyat. Saat itu belum ada dukungan logistik TNI seperti sekarang ini. Apabila ketahuan pihak Belanda, maka rakyat ditangkap dan disiksa dengan kejamnya, rumah-rumah mereka dibakar hangus, lumbung-lumbung padi juga dimusnahkan oleh Tentara Belanda.
Semua komponen bangsa berjuang bahu membahu, tanpa pamrih, dengan satu tujuan yaitu “Indonesia Merdeka”. Hasil perjuangan akhirnya berbuah manis. Melalui Perjanjian Roem-Royen, maka gencatan senjata disepakati, pasukan Belanda meninggalkan Yogyakarta, dan pada 29 Juni 1949 gerilyawan TNI kembali masuk ke ibukota perjuangan. Beberapa dari mereka telah gugur di medan laga sebagai kusuma bangsa. Peristiwa 19 Desember 1948 kemudian diperingati sebagai Hari Bela Negara berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2006.
Semangat gerilyawan dan hubungan harmonis TNI-Rakyat harus selalu dikenang dan dilestarikan. Juga, harus terus dihayati pesan-pesan Panglima Besar Jenderal Soedirman, yang intinya adalah: Tidak Mengenal Menyerah, Percaya Pada Kekuatan Sendiri, TNI lahir dari rakyat, TNI hidup bersama rakyat,TNI tidak boleh menyakiti rakyat dan TNI mengabdi hanya untuk rakyat. TNI-Rakyat Bak Ikan dan Air. (FSR)