Tangsel, Sains Indonesia – Pemerintah segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) terbaru mengenai pengelolaan jalan tol. Peraturan Pemerintah tentang Jalan Tol di tahun 2023 ini diharapkan dapat mengakomodir perubahan perilaku pengguna jalan tol seiring dengan rencana penerapan teknologi nontunai nirsentuh nirhenti di seluruh jalan tol dalam waktu dekat.
“Saat ini pemerintah sedang menyusun PP tentang Jalan Tol yang baru, karena PP yang sebelumnya sudah lima kali mengalami revisi, dan ini sudah dalam tahap finalisasi. Setelah itu akan masuk tahap harmonisasi sebelum nanti disahkan,” ungkap Direktur Pembangunan Jembatan Kementerian PUPR, Budi Harimawan Semihardjo usai Rapat Panitia Antar Kementerian (PAK) terkait Perpres Jalan Tol di Hotel Grand Zuri BSD City, Tangerang Selatan, Banten, Rabu (10/05/2023).
Sebelum menjabat sebagai Direktur Pembangunan Jembatan, Budi Harimawan Semihardjo menduduki posisi sebagai Direktur Jalan Bebas Hambatan hingga awal Mei 2023. Dirinya mengawali RPP tentang Jalan Tol ini sejak awal mula direncanakan pada 20 Juni 2022. Dalam Rapat Finalisasi PAK RPP Jalan Tol tersebut, dirinya mewakili Triono Junoasmono selaku Direktur Jalan Bebas Hambatan yang berhalangan membuka rapat.
Menurut Budi, penyusunan RPP Jalan Tol yang saat ini tengah memasuki tahapan Finalisasi telah melalui proses panjang dalam setahun terakhir. Permohonan Izin Prakarsa oleh Bina Marga kepada Sekjen PUPR dilaksanakan pada 20 Juni 2022. Setelah itu, Sosialiasi RPP Jalan Tol kepada BUJT dilakukan pada 22 Agustus 2022. Izin Prakarsa oleh Menteri PUPR lantas disetujui oleh Presiden RI pada 2 September 2022. Setelah izin turun, dilakukan Permintaan Nama Anggota PAK oleh Sekjen PUPR kepada K/L terkait pada 20 September 2022.
“Pada 24 November 2022, SK tim PAK RPP Jalan Tol ditetapkan dan proses penyusuan RPP pun dimulai. Lalu 17 Februari 2023, PUPR menggelar pembahasan pending issues dengan ATI. Setelahnya pada 10 Maret 2023, dilakukan Rapat PAK ke-1 hingga kemudian rapat dilanjutkan kembali pada 10-11 Mei 2023, yaitu Rapat PAK ke-2 dengan target RPP sudah final dan disepakati oleh Anggota PAK untuk kemudian dibawa ke tahap Harmonisasi,” lanjut Budi.
Budi menyebut, RPP tentang Jalan Tol ini diprakarsai oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Adapun anggota Panitia Antar Kementerian (PAK) meliputi K/L terkait, diantaranya Kementerian Hukum dan HAM; Kementerian Sekretariat Negara; Kementerian Keuangan; Kementerian Perhubungan; Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI); Kementerian BUMN; Kementerian PPN/Bappenas; Kementerian ATR/BPN; Kemenko Bidang Perekonomian; dan Kemenko Bidang Kemaritiman dan Investasi.
Dalam Rapat Finalisasi RPP Jalan Tol tersebut, Budi menyebut ada sejumlah poin kritis dalam RPP yang perlu didalami lebih lanjut untuk kemudian disepakati. Diantaranya terkait sanksi administrasi, mulai dari sanksi administrasi atas pendirian bangunan yang mengganggu akses masuk dan keluar jalan tol; tidak terpenuhinya Standar Pelayanan Minimal (SPM); tidak tersedianya jalan pengganti; dan pengguna jalan tol yang tidak membayar tol pada saat penerapan Multi Lane Free Flow (MLFF).
Salah satu Anggota PAK, Asisten Deputi Infrastruktur Pengembangan Wilayah (Asdep IPW) Kemenko Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) Djoko Hartoyo dalam rapat menyebut, pengelolaan Jalan Tol di masa mendatang akan lebih dinamis sehingga dibutuhkan PP yang lebih rinci, detail, dan mengakomodir setiap kebutuhan. Salah satunya kebutuhan akan teknologi MLFF atau teknologi nontunai nirsentuh nirhentiyang dinilai akan meningkatkan efisiensi dan efektiftivitas aktivitas pembayaran di Jalan Tol. Dengan adanya MLFF, aspek-aspek teknologi hingga pendukungnya perlu dipersiapkan dengan matang.
“Kesiapan teknologi tentu menjadi poin yang utama. Begitu juga kesiapan pengguna jalan tol, baik dari sisi mindset maupun sosialisasi. Standar Pelayanan Minimum (SPM) di jalan tol perlu ditingkatkan. Dan di satu sisi lainnya, hal-hal teknis di lapangan juga perlu dimatangkan. Mulai dari sanksi administrasi bagi pengelola maupun pengguna jalan tol yang melanggar, sampai ke tahap alih teknologinya di masyarakat,” ungkap Asdep Djoko.
Menurut Asdep Djoko, Penerapan MLFF memerlukan pematangan dari sisi perubahan mindset Pengguna Jalan Tol dan kesiapan teknologi pendukung, seperti diantaranya minimum-maksimum kecepatan kendaraan yang dapat terdeteksi oleh sistem hingga enforcement terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di Jalan Tol. Dengan kesiapan sarana prasarana, teknologi, dan keterlibatan sosial, maka kerancuan maupun pembuktian terkait pelanggaran yang terjadi dapat mudah ditetapkan.
“Pembuktian ini menjadi penting, apakah pelanggaran itu terjadi murni karena kelalalaian Pengguna Jalan Tol atau justru karena kesalahan sistem. Penerapan sanksi yang bertingkat juga perlu dipertegas kembali dalam Peraturan Pemerintah atau dalam Peraturan Menteri dengan lebih detail untuk mengantisipasi kerancuan di benak Pengguna Jalan Tol,” ungkap Asdep Djoko menyoroti tentang perlunya pembahasan yang lebih detail terkait pentahapan, besaran, dan jangka waktu pengenaan sanksi administratif.
Pada kesempatan yang sama, Kepala Biro Hukum Kemenko Marves, Budi Purwanto menyebut, RPP juga perlu memikirkan hal-hal yang lebih luas dan strategis, tidak hanya mengubah mindset dari teknologi lama ke baru, namun juga memastikan masyarakat siap dengan norma maupun aturan baru yang akan diberlakukan. Hal tersebut menurutnya cukup krusial meningkat penerapan MLFF yang ditargetkan mulai diujicobakan mulai Juni hingga Desember 2023 mendatang.
“Bagaimana mengatur norma masyarakat dalam PP ini? Perubahan mindset dan teknologi ini apakah akan diatur di Permen (Peraturan Menteri) atau Perpres (Peraturan Presiden)? Artinya, ini harus diwadahi. Juga dari sisi perilaku masyarakat dan hal teknis, seperti terkait pembuktian pelanggaran, apakah dari sisi pengguna atau sisi sistem? Semua harus dipertimbangkan,” ujar Kabiro Budi. (FSR)