Gelar Wicara: Memperkuat Perlindungan Hak Masyarakat Adat melalui Pemajuan Keragaman Ikatan Biokultural

UI dan BRWA menggelar diskusi bertajuk "Memperkuat Perlindungan Hak Masyarakat Adat melalui Pemajuan Keragaman Ikatan Biokultural".

0
19

Sains Indonesia, Depok (17/02) – Universitas Indonesia (UI) bersama Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) menggelar diskusi bertajuk “Memperkuat Perlindungan Hak Masyarakat Adat melalui Pemajuan Keragaman Ikatan Biokultural”, yang berlangsung di Auditorium Mochtar Riady, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UI. Acara ini juga disiarkan secara daring melalui Zoom Meeting dan dihadiri oleh akademisi, aktivis, serta mahasiswa yang tertarik pada isu masyarakat adat dan lingkungan. 

Gambar 1. Sesi perkenalan keempat narasumber gelar wicara, (dari kiri)  Prof. Noer Fauzi Rachman, Ph.D, Dr.rer.nat. Yasman, M.Sc., Suraya Afiff, Ph.D., dan Ir. Kasmita Widodo
dari kiri berarti pak dodo, bu suraya, pak yasman, dan kang oji

Diskusi ini menghadirkan empat narasumber dari berbagai bidang keilmuan. Ketua Umum Asosiasi Antropologi Indonesia (AAI), Suraya Afiff, Ph.D., membahas perspektif antropologi dalam memahami masyarakat adat dan tantangan yang mereka hadapi dengan menjelaskan logika kapitalistik (capitalocene) bahwa perubahan iklim yang terjadi disebabkan oleh sikap manusia yang melihat alam hanya sekadar objek dan untuk menghasilkan uang tanpa melihat unsur kehidupan dalam alam. Pembukaan lahan di hutan menyebabkan masyarakat adat kehilangan sumber penghidupan mereka contohnya pangan, kehilangan keragaman pangan dapat menyebabkan kurangnya gizi dan perubahan pola makan yang dapat menyebabkan stunting pada masyarakat adat.

Sementara itu, Ir. Kasmita Widodo, selaku Kepala BRWA, menyoroti pentingnya registrasi wilayah adat sebagai langkah awal dalam perlindungan hak-hak komunitas adat dengan mengidentifikasi isi wilayah adat dan unsur-unsur penting bagi masyarakat adat melalui ikatan biokultural yang memahami fungsi ruang, keanekaragaman hayati, dan sosial budaya yang dapat menjelaskan seluruh cakupan ruang hidup bagi masyarakat adat.

Gambar 2. Pemaparan materi oleh Ir. Kasmita Widodo.

Dari bidang psikologi komunitas, Prof. Noer Fauzi Rachman, Ph.D., yang dikenal sebagai aktivis akademik, menekankan pentingnya pendekatan partisipatif dalam advokasi kebijakan yang melibatkan masyarakat adat secara langsung. Sebelum memulai materi yang disampaikan, beliau menampilkan sebuah video yang menceritakan tentang pentingnya perlindungan wilayah adat dari ancaman perusahaan destruktif. Masyarakat adat, khususnya pemuda, harus diberdayakan melalui pelatihan dan kepemimpinan yang kuat untuk mempertahankan tanah leluhur mereka. Perjuangan ini tidak hanya tentang melindungi sumber daya alam, tetapi juga tentang menjaga identitas, budaya, dan masa depan generasi mendatang. 

Gambar 3. Pemaparan materi oleh Suraya Afiff, Ph.D. 

Setelah penayangan video, dosen Psikologi Komunitas di Universitas Padjajaran ini kemudian menyampaikan kasus nyata yang sesuai dengan video tersebut, dimana Masyarakat Adat Sungai Utik berhasil mempertahankan wilayah adat mereka dari perampasan dan kerusakan lingkungan berkat sistem adat yang kuat dan pembagian kerja yang jelas. Keberhasilan ini didukung peran pemimpin adat dalam mengatur serta memastikan kepatuhan terhadap aturan Sebelum menutup presentasi materinya, beliau menjelaskan tentang scholar-activist atau aktivis-akademisi yang turut berkontribusi dengan melakukan penelitian, advokasi, kampanye kesadaran publik, serta pemberdayaan masyarakat untuk memperkuat posisi mereka dalam melawan ketidakadilan. Kolaborasi erat antara masyarakat adat, aktivis, dan scholar-activist diharapkan menjadi kunci dalam perjuangan melawan ekspansi kapitalisme, menegakkan keadilan agraria, serta memastikan perlindungan lingkungan dan hak-hak masyarakat adat.

Gambar 4. Penayangan Video Para Pemimpin Generasi Penerus / Leaders of the Next Generation oleh Prof. Noer Fauzi Rachman, Ph.D

Sementara itu, Dr.rer.nat. Yasman, M.Sc., dosen Biologi UI, mengulas hubungan erat antara masyarakat adat dengan keanekaragaman hayati melalui ikatan biokultural. Beliau menjelaskan bahwa hak-hak masyarakat sudah menjadi perhatian dalam skala global, bukan hanya nasional. Beliau menjelaskan beberapa model ikatan biokultural dan menekankan model biokultural Kemitraan Masyarakat-Ilmuwan. Program RIMBAHARI adalah pengaplikasian dari model biokultural tersebut. Menurut materi yang Pak Yasman sampaikan, masyarakat adat telah memanfaatkan berbagai tanaman sebagai obat tradisional, misalnya penggunaan ekstrak daun gandarusa sebagai pil KB. Setelah diteliti,  selain bermanfaat sebagai pil KB, dengan kadar tertentu, ekstrak daun gandarusa juga dapat menjadi obat kuat. Dengan kerja sama Masyarakat-Ilmuwan diharapkan dapat saling memberi keuntungan. Sebagai contoh kerja sama Masyarakat-Ilmuwan yang sukses adalah Merck-INBio Agreement. Peneliti mendapatkan keuntungan berupa akses keanekaragaman hayati untuk diteliti, sedangkan masyarakat adat diberikan keuntungan berupa peningkatan konservasi taman nasional dan peningkatan kapasitas ilmiah melalui penyediaan peralatan.

Gambar 5. Sesi pemaparan oleh Dr.rer.nat. Yasman, M.Sc.

Diskusi yang dimoderatori oleh Rhino Ariefiansyah, M.E.A.P., dosen Antropologi UI, ini berlangsung dinamis dengan berbagai pandangan yang saling melengkapi. Salah satu isu utama yang diangkat adalah bagaimana konsep ikatan biokultural dapat dijadikan dasar dalam kebijakan perlindungan masyarakat adat, terutama dalam menghadapi tantangan modern seperti deforestasi, perubahan iklim, dan eksploitasi sumber daya alam. Diskusi mengenai isu tersebut diperdalam dengan pemutaran film pendek dokumenter karya Rhino berjudul Negosiasi Punan yang mencoba untuk menggambarkan bagaimana konsep ikatan biokultural pada konteks masyarakat di sebuah kampung di pedalaman Malinau di Sungai Tugu.

“Jadi, bercerita tentang bagaimana mereka kembali merevitalisasi adat dan mendokumentasikan kekayaan biokultural di lingkungan mereka gituya,” ucap Rhino dalam penjelasannya.

Selanjutnya, dalam sesi tanya jawab, peserta luring dan daring membahas etnobiologi serta strategi menggabungkan data etnografi dengan sains untuk advokasi masyarakat. Diskusi menyoroti pentingnya registrasi adat untuk memperkuat status dan melindungi ruang hidup masyarakat adat, peran akademisi dan advokat dalam berdialog dengan mereka, serta keterkaitan erat masyarakat adat dengan tumbuhan obat yang selaras dengan ilmu pengetahuan. Selain itu, ditekankan pentingnya ikatan biokultural sebagai dasar transdisiplin untuk mendukung keberlanjutan masyarakat adat dan konservasi.

Acara ditutup dengan penyerahan suvenir kepada narasumber sebagai apresiasi atas kontribusi mereka dalam diskusi mengenai perlindungan hak masyarakat adat dan keragaman ikatan biokultural. Momen ini disambut antusias oleh peserta dan memperkuat komitmen bersama dalam menjaga hak-hak masyarakat adat serta keseimbangan ekosistem. Diharapkan, diskusi semacam ini terus menjadi wadah kolaborasi demi masa depan yang inklusif dan berkelanjutan. Dengan berakhirnya sesi ini, rangkaian acara masih berlanjut dengan Launching Program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) Rimbahari, menandai langkah nyata dalam mendukung pendidikan berbasis pengalaman yang selaras dengan konservasi lingkungan dan pemberdayaan masyarakat adat.

Penulis: Alecia Hasna Mahira Farliando, Farid Ibnu Zakaria, Hanifah Dhiya Kahla, Muhammad Izzudin, Nisrina Nur Azizah, Syabina Julianti, dan Tri Nugraheni 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini