Pemuda Adat dan Modernitas: Bagaimana Dinamika Membawa Mereka ke Masa Depan yang Luhur? 

Generasi muda adat, sebagai pewaris budaya sekaligus agen perubahan, kini berdiri di persimpangan antara melestarikan warisan leluhur dan menyesuaikan diri dengan dinamika zaman.

0
20

Sains Indonesia, Depok (17/02) – Di tengah laju modernisasi yang kian tak terbendung, masyarakat adat di Indonesia mengahadapi tantangan besar dalam mempertahankan identitas, tradisi, dan hak-hak mereka. Generasi muda adat, sebagai pewaris budaya sekaligus agen perubahan, kini berdiri di persimpangan antara melestarikan warisan leluhur dan menyesuaikan diri dengan dinamika zaman. Untuk membahas isu krusial ini, Program Studi Sarjana Departemen Antropologi Sosial Universitas Indonesia bekerja sama dengan Badan Registrasi Wilayah Adat baru saja menggelar diskusi interaktif dengan mengangkat tema “Peran dan Aspirasi Pemuda Adat Menghadapi Tantangan Masa Depan“. 

Diskusi yang berlangsung di Auditorium Mochtar Riady, FISIP UI ini menghadirkan pembicara dari berbagai latar belakang termasuk, komunitas adat, aktivis, dan akademisi yang membahas tentang peran generasi muda adat dalam menghadapi tantangan dinamika sosial, politik, dan lingkungan yang terus berubah sesuai perkembangan zaman. Dalam konteks Indonesia yang memiliki beragam etnis yang tersebar di berbagai wilayah, keberadaan pemuda adat menjadi kunci dalam memastikan keberlanjutan budaya sekaligus memperjuangkan hak atas tanah, sumber daya alam, dan kebijakan inklusif. Diskusi ini tidak hanya menjadi ajang dialog, tatapi juga ruang refleksi khususnya generasi muda untuk memahami kompleksitas yang dihadapi pemuda adat di tengah arus globalisasi dan kebijakan pembangunan yang seringkali mengabaikan suara mereka.

Salah satu sorotan utama diskusi adalah bagaimana pemuda adat berupaya mempertahankan eksistensi komunitas mereka di tengah ancaman industri. Kynan Tegar, perwakilan pemuda Dayak Iban, menegaskan bahwa melestarikan budaya dan memperjuangkan hak tanah adat adalah dua sisi yang tak terpisahkan dalam perjuangan mereka. Sementara itu, Cindy Yohana dari Sekretariat Nasional Barisan Pemuda Adat Nusantara menyoroti pentingnya kolaborasi lintas sektor untuk menciptakan solusi yang berkelanjutan. Dipandu oleh dosen Antropologi UI, Alberta Christina Pertiwi, acara ini diikuti oleh ratusan peserta baik secara langsung maupun daring melalui platform Zoom, mencerminkan antusiasme tinggi terhadap isu yang diangkat. Lebih dari sekadar diskusi akademik, forum ini menjadi panggilan untuk bertindak, mengajak semua pihak merenungkan bagaimana tradisi dan modernitas dapat berjalan beriringan demi masa depan yang lebih adil bagi masyarakat adat Indonesia.

Kynan Tegar seorang pemuda adat dari suku Dayak Iban sedang memberikan pendapat dan pengalaman (17/02/2025).

Kynan, seorang pemuda adat dari suku Dayak Iban di Sui Utik, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Kynan, yang saat ini menempuh studi di Program Studi Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, dikenal juga sebagai pembuat film dokumenter yang mengangkat perjuangan masyarakat adat Sui Utik melawan industri ekstraksi yang berusaha mencaplok wilayah mereka. Dalam talkshow tersebut dibuka oleh video dokumenter yang dibuat olehnya berjudul Earth Defender. Video tersebut menceritakan bagaimana masyarakat sui utik yang ratusan tahun telah menganggap hutan dan segala isinya sebagai sumber kehidupan harus dihadapkan oleh fenomena industri ekstraksi yang mengancam kehidupan mereka.Dalam kesempatan tersebut, Kynan juga menyampaikan perjalanan dan dilema yang kerap dialami oleh pemuda adat. Ia mengungkapkan bagaimana di lingkungan urban, khususnya di Jawa, terdapat ekspektasi romantis yang kerap kali membebani pemuda adat. Ekspektasi tersebut menuntut agar seorang pemuda adat harus menguasai seluruh pengetahuan tradisional, menghindari penggunaan teknologi modern, dan selalu mempertahankan perilaku yang sepenuhnya tradisional. Perspektif tersebut, menurut Kynan, seringkali bertolak belakang dengan realitas yang ia alami sebagai seorang pemuda yang juga menuntut ilmu dan menggeluti dunia dokumenter serta advokasi isu-isu adat.

Lebih jauh, Kynan membagikan pengalaman pribadinya dalam menavigasi peran ganda sebagai agen pelestarian budaya sekaligus advokat di tingkat nasional dan global. Di satu sisi, keberadaannya di luar wilayah adat memberikannya peluang untuk menyuarakan aspirasi masyarakat adat ke panggung yang lebih luas. Di sisi lain, ekspektasi agar pemuda adat kembali ke desa dan langsung membangun lembaga adat sebagai simbol pelestarian budaya menimbulkan dilema tersendiri. Menurutnya, kedua peran tersebut tidaklah harus dipisahkan secara mutlak, melainkan dapat saling melengkapi. Kynan kemudian melanjutkan bahwa “Kenapa harus ada dua jalan yang bercabang secara adat atau sesuai yang dianggap modern seolah kita harus memilih dua hal itu, kenapa kita tidak memiliki pilihan untuk memiliki dua-duanya? Kenapa konsepsi tentang adat dianggap sebagai sesuatu yang harus jauh dari duniawi?” Ia menekankan bahwa kehadiran pemuda adat yang memiliki akses pendidikan modern dan teknologi dapat membawa inovasi yang mendukung pembangunan komunitas, sekaligus mengukuhkan akar budaya melalui kearifan lokal.

Kynan juga mengajak para hadirin untuk melihat bahwa tantangan identitas yang dihadapi oleh pemuda adat bukan semata-mata sebuah kontradiksi antara tradisi dan modernitas, melainkan sebuah kesempatan untuk menciptakan sinergi antara dua dunia yang selama ini dianggap bertolak belakang.

peserta MBKM-RIMBAHARI tahun 2024 sedang membagikan pengalaman sebelumnya (17/02/2025).

Selain mendengarkan pengalaman dan kisah dari Kynan, acara berlangsung dengan mendengarkan sharing session dari para anggota MBKM tahun 2024 dengan tema Dinamika Pemuda Adat antara tradisi dan modernitas yang diisi oleh Windy, Jelang, Hermione, Amadea, dan Aufa membagikan pengalaman mereka di lokasi yang berbeda dengan dinamika yang berbeda. Mereka menemukan beberapa kesamaan antar daerah dimana pemuda adat mengalami sebuah dilema bagaimana pemuda adat bisa menjalani kehidupan sebagai penerus adat dan kehidupan modern setelah mengenyam pendidikan formal. Terdapat sebuah ambiguitas dalam batas sejauh mana pengelolaan adat bisa berjalan beriringan dengan pendidikan formal dan kehidupan modern. Jelang menuturkan bahwa dalam kasusnya para pemuda adat perlu menjalani hampir setengah kehidupannya di luar desa karena akses akan pendidikan yang terbatas, para pemuda adat harus hidup dan merantau sejak mereka menduduki bangku SMP dan kembali ketika mereka lulus dari pendidikan tinggi. Beberapa dari mereka merasa bahwa kehidupan mereka harus segera kembali ke desa dan melanjutkan kehidupan seperti orang tua mereka. Hal ini dikarenakan mereka kesulitan untuk turut terjun dalam dunia pekerja yang didominasi oleh masyarakat yang berasal dari luar desa dan membuat mereka memilih jalan untuk kembali ke desa. Sedangkan mereka dituntut untuk meneruskan kisah luhur dari para pendahulu mereka ketika mereka menghabiskan separuh hidup mereka di luar dengan sedikit paparan kisah dan seluruh rangkaian adat. Keseluruhan kisah yang dibagikan mencerminkan bagaimana dinamika dari pemuda adat antara pilihan terus menjalankan kisah adat mereka. 

Cindy Yohana selaku Sekretariat Nasional Barisan Pemuda Adat Nusantara sedang memberikan pendapat (17/02/2025).

Cindy dari Sekretariat Nasional Barisan Pemuda Adat Nusantara menyoroti perbedaan pandangan terkait pendidikan di komunitas lokal, khususnya bagi masyarakat adat. Salah satu tantangan utama yang dihadapi adalah keterbatasan akses terhadap pendidikan formal. Jarak sekolah yang jauh dari pemukiman atau bahkan ketiadaan sekolah formal di wilayah adat menjadi hambatan bagi masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pendidikannya.

Akibat kondisi tersebut, masyarakat adat kerap membentuk sekolah adat sebagai alternatif untuk memberikan pendidikan kepada anak-anak mereka. Sekolah adat dianggap cukup untuk memberikan pengetahuan dasar sekaligus mempertahankan dan memperdalam pemahaman tentang budaya serta kehidupan adat. Pasalnya, di banyak wilayah adat, sekolah formal hanya tersedia hingga jenjang sekolah dasar, sementara untuk jenjang menengah pertama dan seterusnya, anak-anak harus menempuh perjalanan yang jauh.Namun, menurut Cindy, keberadaan sekolah adat kerap menghadapi tantangan dari pemangku kebijakan yang mengharuskan masyarakat untuk mengikuti sistem pendidikan formal. Hal ini menyebabkan kebingungan di kalangan masyarakat adat terkait pemenuhan kebutuhan pendidikan mereka. Oleh karena itu, cindy menegaskan pentingnya kolaborasi antara komunitas lokal dan pemangku kebijakan agar tercipta sistem pendidikan yang inklusif dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat adat. Lebih lanjut, Cindy menuturkan, “Kami percaya bahwa kalau kami pemuda adat sudah kuat dan teman-teman lain percaya kami mau berjuang, kami yakin teman-teman tidak akan membiarkan kami berjuang sendirian.”

Rangkaian acara dilanjutkan dengan sesi diskusi dan tanya jawab bersama para audiens yang hadir. Selain itu, harapan dan apresiasi dilontarkan oleh audiens terhadap para pemuda adat dan alumni anggota MBKM yang bersedia melakukan berbagai upaya meneruskan serta menjembatani usaha untuk menjaga nilai-nilai luhur adat di tengah arus zaman modernitas. Diskusi interaktif ini berakhir dengan kesimpulan bahwa dinamika tantangan masa depan yang dihadapi pemuda adat tidak justru membuat para pemuda menyerah untuk melestarikan nilai-nilai luhur yang diamanatkan kepada mereka. Pemanfaatan teknologi, pengolahan ilmu  pengetahuan, dan penguatan akar kepercayaan diri untuk memegang teguh nilai budaya menjadi cara tersendiri bagi para pemuda adat melestarikan nilai adat warisan leluhur.

Penulis:  Atallah Rania Insyira, Azzikri, Delvina Nabila, Fajri Ramdhani, Silfa Tiana Rifki, dan Zaky Ibrahim Zayn Borneo.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini