Sains Indonesia, Jakarta – Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) sampai saat ini telah meregistrasi 1.583 wilayah adat dengan luas mencapai 32,3 juta hektare (ha) di seluruh Indonesia. Namun, dari total tersebut, pemerintah daerah baru menetapkan 302 wilayah adat dengan luas 5,3 juta ha. Hal ini menunjukkan pengakuan pemerintah daerah masih sangat rendah, hanya sekitar 19,08% dari total wilayah adat yang telah teregistrasi di BRWA.
Kompleksitas penyelenggaraan yang bersyarat dan berliku serta minimnya alokasi dana untuk pengakuan wilayah adat menjadi faktor utama lambannya proses pengakuan ini. Tanpa adanya komitmen nyata dari pemerintah, masyarakat adat terus menghadapi ketidakpastian hukum atas wilayah yang mereka kelola secara turun-temurun.
“Lambat dan sedikitnya pengakuan wilayah adat berimplikasi pada meningkatnya potensi konflik tenurial di wilayah adat. Selain itu, deretan Proyek Strategis Nasional dan perijinan berusaha berbasis lahan yang mengubah bentang alam berpotensi mengancam keanekaragaman hayati, sumber pangan lokal, dan kebudayaan masyarakat adat yang memiliki hubungan erat dengan ruang hidupnya di darat, pesisir dan laut” ungkap Kasmita Widodo, Kepala BRWA, saat memperingati Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara dan HUT BRWA ke-15 tahun, 17 Maret 2025 di Jakarta.
Selain pengakuan wilayah adat oleh pemerintah daerah, penetapan hutan adat juga masih jauh dari harapan. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 (MK-35) telah menegaskan bahwa hutan adat bukan lagi bagian dari kawasan hutan negara, melainkan bagian dari hak masyarakat adat. Namun hingga saat ini, Kementerian Kehutanan baru menetapkan 156 wilayah adat dengan luas 322.505 ha sebagai hutan adat. Padahal, berdasarkan data BRWA, potensi hutan adat yang dapat ditetapkan mencapai 24,5 juta ha.
Kesenjangan ini mencerminkan masih besarnya pekerjaan rumah pemerintah dalam menjalankan mandat MK-35. Diperlukan langkah strategis yang lebih konkret dan keberpihakan politik yang lebih kuat untuk mempercepat pengakuan dan perlindungan hutan adat.
Selain lambannya pengakuan wilayah dan hutan adat, legislasi yang menjamin hak-hak masyarakat adat juga masih mengalami stagnasi. Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat yang telah diperjuangkan selama lebih dari satu dekade belum kunjung disahkan. Padahal, RUU ini menjadi landasan penting bagi perlindungan hak-hak masyarakat adat, termasuk kepastian hukum atas wilayah adat yang mereka tempati.
Hingga saat ini, proses legislasi RUU Masyarakat Adat masih terhambat di parlemen dengan berbagai dinamika politik dan tarik ulur kepentingan. Tahun 2025 adalah momen yang paling tepat bagi DPR RI dan pemerintah untuk menjadikan RUU Masyarakat sebagai undang-undang.
BRWA Bersama Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat menyerukan kepada pemerintah dan DPR RI untuk segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat agar hak-hak masyarakat adat dapat diakui secara komprehensif dan berkeadilan.Undang-Undang Masyarakat Adat diyakini merupakan salah satu pilihan jalan bagi Bangsa Indonesia agar dapat keluar dari krisis global yang sedang dihadapi, yakni soal pangan, energi, dan air. Indonesia bahkan bisa mencapai target pengurangan emisi di tahun 2030 dengan disahkannya UU ini. Masyarakat Adat memiliki pengetahuan dalam mengelola, menjaga, dan memanfaatkan kekayaan alam Indonesia dengan penuh bijaksana. Karena wilayah Masyarakat Adat menyimpan hutan, lautan dan ekosistem sebagai sumber pangan, simpul keanekaragaman hayati, obat-obatan, budaya, dan lainnya yang dimaknai sebagai sumber penghidupan, tambah Anggi Putra Ketua Tim Kampanye Koalisi.

Simak ulasan lengkapnya dalam video berikut: