Infanteri: Ratu Pertempuran

Ibarat pion dalam permainan catur yang selalu paling depan dan harus maju terus pantang mundur, karena mundur berarti mati. Begitu pula pasukan infanteri, yaitu pasukan berjalan kaki yang berada paling depan, membawa persenjataan sendiri. “Infant” berarti “kaki”, dan pasukan infanteri menguasai wilayah dengan “dengkul”nya. Tidak heran bila Infanteri dikenal sebagai “Ratu Pertempuran”, alias “Queen of the Battle”.

0
99

Pernah main catur? Disitu digelar dua kubu bidak catur saling berhadapan.. Ada Raja, ada Ratu, ada Benteng, ada Pendeta, ada Pasukan Berkuda, atau kavaleri, dan ada Pion, yang masing-masing bergerak dengan polanya sendiri untuk menaklukan raja lawan, dan dalam waktu bersamaan menjaga raja sendiri.

Pion selalu paling depan dan harus maju terus pantang mundur, karena mundur berarti mati. Inilah pasukan infanteri, yaitu pasukan berjalan kaki yang berada paling depan, membawa persenjataan sendiri. “Infant” berarti “kaki”, dan pasukan infanteri menguasai wilayah dengan “dengkul”nya. Tidak heran bila Infanteri dikenal sebagai “Ratu Pertempuran”, alias “Queen of the Battle”.

Korps infanteri adalah korps terbesar di Angkatan Darat, dan dari disinilah konsep: “Prajurit Yang Dipersenjatai” muncul. Berbeda dengan AL dan AU yang rancang bangunnya adalah: ”Senjata Yang Diawaki”, artinya jumlah prajurit AL dan AU tergantung pada berapa be-sar jumlah kapal perang atau pesawat tempur yang ada.

Melalui Konsep: ”Prajurit Yang Dipersenjatai” tadi maka disusunlah Satuan Infanteri, dari yang paling kecil, yaitu Regu. Tiga Regu membentuk Satu Peleton, tiga Peleton membentuk satu Kompi, tiga Kompi membentuk satu Batalyon, tiga Batalyon membentuk satu Brigade dan tiga Brigade Infanteri membentuk satu Divisi Infanteri. Kekuatan satu regu sekitar 20 prajurit, kekuatan satu kompi sekitar 250 prajurit, sedang satu Batalyon infanteri bisa berkekuatan sampai 1000 prajurit, satu Brigade Infanteri berkekuatan 3000 Prajurit dan satu Divisi Infanteri bisa mencapai 10.000 Prajurit yang masing-masing mem-bawa senjata sendiri.

Kerajaan-Kerajaan Nusantara tempo dulu, seperti Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, juga selalu memiliki pasukan-pasukan infanteri yang bersenjatakan tombak, pedang serta senjata lantakan, sedang para pangerannya biasanya bergabung dalam korps kavaleri menunggang kuda.

Cikal bakal Pasukan TNI, antara lain, berasal dari Batalyon-Batalyon Infanteri Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA), yang dilatih Pasukan Pendudukan Jepang (1942-45). Saat itu, PETA memiliki kekuatan 90 Batalyon yang disiapkan Jepang untuk menghadapi Sekutu. Namun, begitu Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, justru Pasukan PETA inilah yang paling siap dan paling terlatih untuk menghadapi Perang Kemerdekaan I dan Perang Kemerdekaan II.

Seorang mantan Daidancho (Komandan Batalyon) PETA, yaitu Kolonel Soedirman, Komandan Divisi V – Banyumas, berhasil menggoreskan tinta emas dalam sejarah Operasi Tem-pur Pasukan Infanteri di Tanah Air pada awal Kemerdekaan RI, yaitu saat Pertempuran Palagan Ambarawa, Jawa Tengah, 11 – 15 Desember 1945. Kala itu, dengan Taktik Mangkara Yudha, atau “Supit Urang”, Pasukan Soedirman menjepit kedudukan Pasukan Belanda dari arah Selatan, arah Barat dan arah Timur Kota Ambarawa. Melalui pertempuran dahsyat selama lima hari, Pasukan Infanteri TKR berhasil mengusir Pasukan Belanda dari Kota Ambarawa untuk mundur ke Utara, ke Kota Semarang. Kemenangan pertempuran Palagan Ambarawa 15 Desember 1945 dikenang sebagai Hari Infanteri, atau dikenal pula sebagai Hari Juang Kartika.

Goresan Tinta Emas Sejarah Pasukan Infanteri di Indonesia juga diperoleh Batalyon Infanteri 330/Kujang I-Siliwangi, saat Operasi Kilat Penumpasan Pemberontakan DI/TII Kahar Muzakar dan Andi Sele di Sulawesi Selatan-Tenggara (1964-1965). Dengan yel:” Beta Ku Beta”, yang artinya:”Mari Kita Berkelahi”, diambil dari bahasa suku Linggala-Congo, tempat Batalyon 330/Kujang I ini pernah bertugas sebagai Pasukan Penjaga Perdamaian PBB di Congo (1962-1963), maka dalam waktu hanya 3 hari Batalyon infanteri ini berhasil menyelamatkan Panglima Kodam Hasanuddin, Brigjen M Yusuf, dari sergapan gerombolan dan menghancurkan Pasukan Andi Sele di Polewali, yang kekuatannya 5 X kekuatan pasukan Kujang. Akhirnya, anggota pasukan Batalyon Kujang, yaitu Kopral Sadeli, berhasil menembak mati Komandan Gerombolan, Kahar Muzakar, ditepi Sungai Lasolo, Sulawesi Tenggara, 3 Februari 1965.

Presiden Soekarno menyambut Sukses Batalyon Infanteri 330/Kujang-I Siliwangi dalam Operasi Kilat ini dengan menyampaikan Pidato pada HUT Siliwangi 20 Mei 1965: ”Saya tahu dharma bakti Siliwangi tidak sedikit. Tanpa adanya kekuatan militer yang riel dibidang keamanan dan pertahanan, maka kita tidak akan dapat berdikari di bidang ekonomi, bebas di bidang politik, dan berkepribadian di bidang budaya”. Presiden RI ini juga mengutus Menteri/Panglima Angkatan Darat, Letjen Achmad Yani untuk khusus datang ke Bandung guna menaikan Pangkat Luar Biasa, serta menganugerahkan Bintang Jasa Nararya kepada Letkol Himawan Soetanto, Komandan Batalyon Infanteri 330/Kujang-I, Siliwangi.

Tidak semua operasi tempur pasukan infanteri kita berbuah manis. Sejarah mencatat bahwa pada operasi gabungan Penyerbuan Kota Dili-Timor Timur, pada 7 Desember 1975, yang dimotori Batalyon Infanteri Lintas Udara-502/Raiders, Jawa Timur dan Tim Nanggala-5/Kopasandha yang diterjunkan dari 9 Pesawat C-130 Hercules TNI-AU, serta pendaratan amphibi oleh Batalyon Tim Pendarat 5/Marinir, tanpa perlindungan pesawat tempur taktis, berakhir dengan jatuhnya korban yang tidak diharapkan, rusaknya pesawat Hercules akibat tembakan dari darat, serta lemahnya koordinasi antara pasukan yang terjun dari udara dengan pasukan marinir yang mendarat di pantai, akibat lemahnya pasokan intelijen. Walaupun demikian, upaya tadi tidaklah sia-sia dan Dili berhasil dikuasai pada 8 Desember 1975.

Memang, kemampuan satuan infanteri terus berkembang pesat sejalan dengan kemajuan teknologi. Saat ini, operasi 100 batalyon infanteri TNI AD sudah didukung oleh helikopter. Bahkan sekarang telah pula dikembangkan Batalyon Infanteri Mekanis yang dilengkapi panser-panser pengangkut pasukan jenis Anoa buatan PT Pindad. Belum lagi dukungan alat ko-munikasi yang semakin canggih.

Walaupun demikian, nampaknya operasi-operasi tempur di Indonesia sampai saat ini hanya baru bisa bergerak pada tingkatan Batalyon Infanteri semata, belum bisa sampai ketingkat Brigade, apalagi tingkat Divisi, mengingat harus adanya dukungan logistik yang begitu besar untuk menggerakkan sebuah Divisi Infanteri berkekuatan 10.000 pasukan, dan nampaknya Indonesia saat ini belum mampu.

Ke depan, Indonesia harus bisa memproyeksikan Pasukan Infanterinya sampai tingkat Divisi keseluruh Pelosok Nusantara, diperkuat Helikopter-Helikopter Apache, meriam-meriam artileri berat, serta tank-tank Leopard yang baru, serta dukungan logistik modern yang memadai.

Ditulis oleh: Indroyono Soesilo, Alumnus Lemhannas KSA-XIV, tahun 2006.
Artikel dimuat di Majalah Sains Indonesia edisi 14 – Februari 2013

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini