Indonesia Goes Nuclear?

Di saat kebutuhan energi listrik kian meningkat, sementara cadangan energi dari migas semakin berkurang. Sedangkan pemanfaatan batubara justru kian memacu peningkatan emisi karbon ke atmosfer. Maka kapankah Indonesia Goes Nuclear?

0
56

Ada tiga jenis teknologi di dunia yang penguasaannya selalu dikontrol ketat. Negara yang menguasai teknologi satelit, roket, dan nuklir selalu memiliki “nilai jual” lebih, dan tidak bisa dipandang sebelah mata, walaupun tingkat kehidupan masyarakatnya miskin. Negara-Negara pemilik ketiga teknologi tadi, seperti Korea Utara, India, Iran, Irak, Kuba, Jepang, Perancis, dan Jerman tidak bisa dianggap enteng oleh para adidaya seperti Amerika Serikat dan Uni Sovyet tempo hari, atau negara Rusia saat ini.

Indonesia merupakan negara berkembang paling awal yang berhasil menguasai ketiga teknologi tadi. Teknologi peroketan sudah dikuasai Indonesia sejak roket Kartika-I berhasil diluncurkan pertama kalinya dari Pamengpeuk, Jawa Barat, pada tahun 1962. Ingat, peristiwa meluncurnya Kosmonaut Rusia yang pertama,Yuri Gagarin, dan Astronot AS yang pertama ke ruang angkasa, Alan Shephard, baru terjadi tahun 1961. Saat itu, Indonesia sudah berada di barisan paling depan di antara negara-negara berkembang yang mengembangkan teknologi peroketan. Di dunia persatelitan, Sistem Komunikasi Satelit Domestik (SKSD) Palapa, berhasil dioperasikan Indonesia pada tahun 1976, menempatkan negara kita sebagai negara kedua di dunia yang mengembangkan SKSD sesudah Kanada.

Lain lagi dengan teknologi nuklir. Pada Mei 1956, Presiden Soekarno terbang ke Amerika Serikat untuk suatu kunjungan kenegaraan. Ia disambut sebagai Tokoh Revolusi Indonesia dan Pemimpin Asia – Afrika, setelah Indonesia sukses menggelar Konferensi Asia – Afrika di Bandung, April 1955. Dari Ibukota AS, Washington DC, Presiden Soekarno terbang ke Ann Arbor, Michigan guna menerima Gelar Doctor Honoris Causa Bidang Hukum, dari University of Michigan. Dalam pidatonya, Presiden Soekarno menegaskan pentingnya bangsa-bangsa di dunia hidup berdampingan secara damai, di tengah lomba persenjataan nuklir antara Blok Barat dan Blok Timur. Kehadiran teknologi nuklir harus diarahkan untuk maksud maksud damai.

Presiden pertama Indonesia Soekarno menerima gelar doktor honoris causa dari Universitas Michigan pada Mei 1956.

Sekembalinya Presiden Soekarno dari AS, maka mulai tahun 1958, para ilmuwan muda Indonesia, antara lain: Soetaryo Soepadi, Iyos Subkhi, dan lain-lain berangkat ke AS untuk belajar teknologi nuklir di University of Michigan, yang kemudian diimplementasikan menjadi Pusat Reaktor Atom Bandung, yang diresmikan Presiden Soekarno pada tahun 1965. Indonesia termasuk beberapa negara langka di dunia yang sudah mulai menggeluti teknologi nuklir paling awal dibanding negara-negara lain. Namun, saat ini Indonesia tertinggal dibanding negara-negara seperti India, China, Korea Utara, Irak, bahkan Malaysia, yang sudah mulai membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).

Reaktor nuklir pertama yang dibangun di Indonesia adalah Reaktor Atom Triga Mark II, di Bandung, yang memiliki kapasitas 250 KW. Reaktor ini diresmikan Presiden Soekarno pada tahun 1965. Pada tahun 1997, reaktor ini ditingkatkan dayanya menjadi 2 MW. Reaktor Buatan General Atomics AS ini digunakan untuk pelatihan, riset, dan produksi Isotop. Dengan modal pengalaman membangun Reaktor Atom di Bandung, maka pada tahun 1979 dibangun Reaktor Atom kedua di Yogyakarta, dengan daya 100 Kilo Watt, menggunakan sarana ex Uni Sovyet dan diberi nama Reaktor Atom Kartini. Pada tahun 1987 berhasil diselesaikan Reaktor Atom ketiga, yaitu sebuah Reaktor Atom Serbaguna, dengan kapasitas 30 Mega Watt di Lokasi Puspiptek, Serpong Jawa Barat, dan diberi nama Reaktor Atom Serbaguna GA Siwabessy. Ini merupakan reaktor atom terbesar di Indonesia sampai sekarang.

Reaktor Atom Triga Mark II, di Bandung, kapasitas 250 KW, diresmikan tahun 1965. Pada 1997 ditingkatkan menjadi 2 MW. Reaktor Buatan General Atomics AS ini digunakan untuk pelatihan, riset, dan produksi Isotop.
Reaktor Atom Serba Guna GA Siwabessy di Puspiptek Serpong, Kapasitas 30 Mega Watt, diresmikan tahun 1987, merupakan rekator atom terbesar di Indonesia sampai saat ini.

Dengan pengalaman membangun tiga reaktor atom, serta dilengkapinya sarana kelembagaan seperti Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten), maka sudah saatnya Indonesia membangun PLTN. Mengantisipasi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang rata-rata di atas 6% per tahun, maka mau tidak mau pemenuhan kebutuhan energi listrik masa depan harus bertumpu pada energi nuklir. Undang-Undang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2025 juga sudah mengamanatkan perlunya dibangun PLTN. Uji lokasi PLTN di Muria, Jawa Tengah, ataupun di Bangka-Belitung sudah pula dilaksanakan. Kajian teknologi nuklir terus dikembangkan.

Reaktor Atom Kartini di Yogyakarta, Kapasitas 100 Kilo Watt, merupakan reaktor atom kedua di Indonesia, diresmikan tahun 1979.

Tentu pertanyaannya sekarang adalah: ”Kapan Indonesia Goes Nuclear?” Jangan sampai di saat kebutuhan energi listrik harus dicukupi, maka kita kekurangan pasokan listrik, ditambah lagi cadangan energi dari migas semakin berkurang, sedang pemanfaatan batubara kita akan memicu peningkatan emisi karbon ke atmosfer.

Artikel ini ditulis oleh: Indroyono Soesilo, Almunus ITB (1978), University of Michigan USA (1981), dan University of Iowa USA (1987).
Artikel pernah dimuat di MAJALAH SAINS INDONESIA edisi 13, Januari 2013.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini