Evolusi Seragam Militer

Pada zaman dahulu, prajurit kebap berperang tanpa busana. Baru pada era Yunani kuno, sekitar 1150 SM, baju perang mulai dikenakan.

0
70

Tahukah Anda bahwa pada zaman da-hulu kala, prajurit maju berperang tanpa mengenakan busana, alias bugil? Baru pada era Yunani kuno, zaman Troy, sekitar tahun 1150 Sebelum Masehi (SM), baju perang mulai dikenakan oleh prajurit yang akan bertempur, kebanyakan terbuat dari kulit atau tulang binatang agar tahan hantaman senjata tajam.

Ketika bangsa Romawi mulai menguasai dunia, sekitar tahun 200 SM hingga Abad Pertengahan, maka taktik berperang semakin maju dan seragam prajurit Romawi sangat warna-warni, memakai umbul-umbul, bendera, topi dan helm sehingga sang komandan bisa mengenali pasukannya, sekaligus mengindentifikasi pasukan lawan.

Sejak Cromwell berkuasa di Inggris (1599-1658) maka pasukan Inggris berhasil disatukan dan bisa mengenakan satu jenis pakaian seragam. Pembeda antara satu unit dengan unit yang lain hanyalah pada panji-panji dan umbul-umbul kebanggaan satuan. Semakin sering satuan tadi berhasil dalam pertempuran maka semakin tinggi penghormatan mereka kepada panji-panji satuan tadi.

Pada zaman Jenderal Napoleon Bonaparte (1769 – 1821), pasukan Perancis mulai bertempur memanggul senapan api dan seragam baju hijau bagi prajurit mulai diperkenalkan, sekaligus untuk penyamaran. Pada waktu yang bersamaan, seragam militer warna khaki juga mulai dikenakan oleh pasukan Inggris.

Untuk Penyamaran

Evolusi pakaian seragam militer, yang sekaligus juga berfungsi untuk penyamaran, terus berkembang, ada seragam warna hijau olive drab dari Angkatan Darat Amerika Serikat, tentara Jerman mengenakan seragam feldgrau dan juga seragam kamuflase zeltbahn, sedang militer Italia mengenakan seragam folgore. Tentara Belanda ketika bertempur melawan pejuang-pejuang Kemerdekaan RI (1945-1949), mereka mengenakan pakaian seragam loreng ”macan tutul”.

Seragam prajurit kerajaan-kerajaan di Nusantara juga berevolusi mengikuti perkembangan zaman. Bahkan seragam pasukan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dirancang sendiri oleh Raja Sri Sultan Hamengkubuwono I (1717-1792) berdasarkan filosofis, teknis dan budaya Jawa. Falsafah Jawa yang dipompakan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I kepada prajurit keraton adalah watak ksatria yang dilandasi sesanti: Sawiji atau Taqwa Kepada Tuhan Yang Maha Esa, Greget atau semangat, Sengguh atau percaya pada kekuatan sendiri dan Ora Mingkuh atau pantah menyerah.

Butir-butir watak ksatria tadi ternyata masih mendasari falafah TNI hingga saat ini. Berdasarkan falsafah ksatria tadi, kemudian Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat menyusun pasukan-pasukan keraton dalam bregada-bregada, atau satuan-satuan, dengan corak seragam khas sesuai filosofis dan budaya Jawa tadi. Pasukan yang dikenal mengenakan seragam warna merah adalah Prajurit Wirabraja, sesuai dengan artinya, yaitu: wira berarti berani dan braja berarti senjata, sehingga Wirabraja bermakna pasukan pemberani yang menggenggam senjata.

Kemudian ada seragam warna hitam-hitam yang dikenakan Bregada Prajurit Manggala. Hitam adalah warna tanah dan dalam masyarakat Jawa. Warna hitam dapat diartikan sebagai keabadian dan kekuatan. Ada pula prajurit yang mengenakan seragam serba putih, seperti Bregada Prajurit Surakarsa. Warna putih bermakna kebersihan atau kesucian. Ini berarti bahwa Prajurit Surakarsa berangkat ke medan tugas dengan jiwa yang bersih dan hati yang suci.

Makna kesederhanaan ditampilkan oleh Bregada Prajurit Keraton yang mengenakan seragam terbuat dari kain lurik, mengingat harga kain lurik tidak ter-bilang mahal. Para prajurit dari Bregada Jagakarya, Ketanggung, Mantrijero, Miji Jager, Patangpuluh dan Langenastra mengenakan seragam kain lurik ini yang bermakna kesederhanaan, kesetiaan, dan kejujuran.

Buatan Dalam Negeri

Desain, bentuk, dan kualitas baju seragam prajurit Indonesia terus berkembang hingga sekarang. Sebagai kekuatan angkatan bersenjata Nomor 15 di dunia, ternyata seluruh prajurit TNI dan Polri, yang jumlahnya sekitar 400.000 orang, mengenakan seragam berkualitas tinggi dan 100% buatan dalam negeri. Setiap pasukan khusus di masing-masing angkatan juga memiliki jenis seragam khas yang berstandar internasional dengan desain modern.

Korps Pasukan Khusus TNI AD atau Kopassus, memiliki seragam loreng khas ”darah mengalir”; Korps Ma-rinir TNI AL memiliki seragam loreng jenis ”ma-can tutul”; sedang seragam loreng pasukan Khas TNI AU memiliki seragam loreng dengan warna kebiru-biruan simbol kedirgantaraan. Ada lagi seragam loreng khusus yang dipakai prajurit Brigade Infanteri Lintas Udara 17/Kostrad dan juga ada seragam loreng khusus untuk 10 Batalyon Raiders TNI AD.

Orang jarang tahu bahwa seragam untuk seluruh prajurit TNI dan Polri ternyata dibuat di PT Sri Rejeki Isman (PT Sritex) di Solo, yang mulai beroperasi sejak 1968. Kualitas produksi sera-gam militer PT Sritex sudah berada pada standar North Atlantic Treaty Organization (NATO), sehingga banyak negara anggota NATO memesan seragam untuk prajurit mereka dari PT Sritex. Tercatat, sudah ada Angkatan Bersenjata dari 27 negara yang tentaranya mengenakan seragam militer Made in Solo ini. Bukan itu saja, termasuk dipesan pula jaket militer, overall, rom-pi, tenda dan sepatu.

Saat ini, PT Sritex mampu memproduksi 2.5 juta garmen militer per bulan, sedang produksi kain mencapai 8-9 juta yard per bulan dan produksi benang mencapai 7000 bal per bulan. Inilah salah satu bentuk ekonomi kreatif yang potensinya sangat besar di Tanah Air dan produknya mampu merambah dunia.

Artikel ditulis oleh: Indroyono Soesilo, Alumnus Lemhannas, KSA-XIV, Tahun 2006.
Artikel pernah dimuat di Majalah Sains Indonesia edisi 29, Mei 2014

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini